Oleh: Askolani Nasution
Beberapa hari lalu saya berkunjung ke Dusun Lubuk Sihim, Desa Muara Batang Angkola, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Saya ke sana sebagai pendamping tim konservasi hutan Taman Nasional Batang Gadis. Cerita pertama yang saya dengar, kemarin ada anak SD yang dicakar monyet liar sampai luka parah. Saya pikir itu bukan ancaman satu-satunya di pemukiman yang berada di tengah hutan Mandailing Natal ini.
Pertama, kita harus menyeberangi sungai Batang Gadis dengan getek, rakit tradisional. Penyeberangan sungai besar itu dengan lincah diawaki seorang ibu rumah tangga. Ia lincah menarik tali untuk mengendalikan rakit sampai ke seberang.
Begitu turun, kita akan disambut jalan setapak di antara hutan, becek dan berlumpur. Masuk jauh ke hutan, bertemu gugusan rumah sederhana. Tak cukup 30 rumah, berjejer rumah sederhana di lereng bukit. Itulah Dusun Lubuk Sihim.
Kami disambut warga berkebudayaan Nias. Kabarnya, mereka menghuni dusun ini sejak tahun 80-an. Anak-anak berlarian polos tanpa sandal. Saya minta mereka tunjukkan buku pelajaran mereka. Juga membaca.
Mereka anak-anak yang setiap hari berjalan kaki ke sekolah. Karena sekolah satu-satunya hanya ada di desa induk, Muara Batang Angkola, setiap hari sekolah anak-anak ini harus berjalan kaki 2-5 km. Menuruni bukit terjal, berlumpur. Sampai di tepi muara, mereka harus naik rakit ke seberang.
Berangkat subuh 50-60 orang. Melintasi hutan dan sungai. Menenteng sepatu dan tas, nanti dipasang setelah sampai induk desa. Berjam-jam berjalan. Sesekali bertemu gerombolan monyet liar, babi hutan, atau binatang buas lain.
Lima kilometer dilalui saat remang subuh agar tak terlambat sekolah. Di sekolah, mereka akan bernyanyi Indonesia Raya. Ketika di kota mobil berseliweran mengangkut anak sekolah berpakaian bagus dan wangi, di sini mereka berkubang lumpur untuk bisa sekolah.
Lima kilometer untuk anak kelas satu SD, turun naik bukit. Bertegur dengan satwa liar. Itu waktu subuh saat kita sedang menyantap segelas kopi espresso dan goreng pisang di kedai bermusik roman. Asap mengepul dari rokok kita yang disemburkan ke langit, sambil bercerita siapa presiden kita 2024. Atau tentang Lesti, Piala Dunia, atau prank dari Baim. Bangsat betul kita!
“Kami ingin sebuah sekolah,” kata seorang kakek renta sambil menjemur kemiri.
“Coba kalau saja jalan tidak berlumpur,” kata seorang pemuda putus sekolah. Ia sedang menjemur kakao di halaman pondoknya yang sederhana.
Dusun di lereng bukit ini menjadi sunyi. Hanya angin yang meriuhkan batang cemara di sisi jalan. Tapi hati anak-anak yang berlarian riuh mengantar kami pulang. Mungkin mereka mengira, besok mereka sudah punya jalan yang bagus dan sekolah di tepi kampung itu. Di Indonesia, kekayaan terbesar kita adalah impian.