OPINI – THR, meski sulit ditemukan orang-orang tetap mencarinya pada hari-hari terakhir Ramadan. Suasana jadi sibuk gara-gara si Tiga Huruf ini. Entah dari mana hal ini bermula, yang pasti pengaruhnya luar biasa. Bisa disebut kondisi yang ditimbulkan THR ini menghantam sendi kemanusiaan. Bagi banyak orang, mereka yang menanti dan mencarinya, ketiadaan THR seolah menyebabkan dunia runtuh. Tak hanya jiwa, psikologis pun bisa terdampak. Efeknya susah tidur, detak jantung tak normal, tidur tak teratur. Tak jarang mata masih melek meski jarum jam tengah menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
Meski begitu besar dampak akibat susahnya mencari THR, ketika bertemu situasi berubah 180 derajat. Tiba-tiba aura positif memancar dari mereka yang menemukannya. Mata berbinar, senyuman pun semringah, dan sisiran rambut kembali rapi.
THR ini seperti target operasi di film-film Koboi. Banyak pihak, baik secara mandiri maupun berkelompok, berlomba menemukannya. Seolah yang berhasil menemukan akan mendapatkan upah besar. Tak ayal, para pemburu THR ini terlihat grasah-grusuh ke sana ke mari. Kantor-kantor pemerintah maupun perusahaan menjadi target dengan alasan silaturahmi. Tak semua beruntung. Maka dari itu, beragam cara digunakan untuk mendapatkannya. Mulai dari yang halus sampai yang kurang elok. Teknologi pun menunjukkan perannya. Ketika target operasi tak di tempat, maka pesan lewat aplikasi WhatApp atau messenger platform media sosial menjadi pilihan. Bagi yang beruntung akan mendapat tanggapan positf, lainnya malah pesan terkirim usai Idulfitri. Kalau sudah demikian, pesan tak lagi bermakna. Istilahnya kedaluarsa atau expired date.
THR pada awalnya hanya diberikan pemerintah kepada pegawainya atau perusahaan kepada pekerjanya. Semakin ke sini, ‘pengaplikasian’ THR mengalami perkembangan makna, jika tidak bisa disebut mengalami perubahan, sehingga tak jarang terjadi salah kaprah. Bahkan, istilah ini meluas sampai masuk ke wilayah privat. Ini dilihat dari ketidakseganan beberapa orang yang bertamu ke rumah kita di ujung Ramadan atau awal Syawal meminta THR.
Sebenarnya, tidak ada satu pun literatur dari masa lalu yang membicarakan secara khusus kewajiban memberikan THR. Konon, hal ini terjadi dipengaruhi oleh ajaran Islam yang mengistimewakan pemberian sedekah di sepuluh hari terakhir Ramadan. Tujuannya untuk berbagi kegembiaraan menyambut datangnya hari kemenangan, Idulfitri, antara hamba yang cukup secara materi dengan yang kurang beruntung. Di masa lampau, para raja dan keluarga mengaktualisasikannya dengan memberi hadiah kepada anak-anak pengikutnya usai salat Id. Dibagikan sebagai wujud rasa syukur dan kebahagiaan melalui Ramadan.
Esensi THR bukan pada nilai nominal, melainkan sebagai bentuk ungkapan kasih sayang, rasa cinta, dan berbagi kebahagiaan sehingga tercipta kehangatan selayaknya keluarga yang saling berbagi. Pemberi dan penerima pun bergembira sebab takada unsur paksaan di dalamnya. Diberikan dengan penuh keikhlasan dan diterima dengan rasa syukur. Namun, terjadinya pergeseran makna sebagaimana pada awal tulisan ini membuat banyak pejabat pemerintah seolah kompak menghindar. Upaya yang dilakukan mulai dari tidak mengaktifkan ponsel sampai mengatur tampilan online WhatsApp. Hal seperti ini umumnya hanya berlaku sampai sepekan lebaran.
Menjelang Idulfitri seperti sekarang ini, kantor-kantor pemerintah umumnya hanya diisi pejabat eselon rendah atau staf biasa. Mereka yang diamanahi memimpin OPD terkesan ogah-ogahan masuk kantor. Meski demikian, mereka tidak sepenuhnya menghindar. Masih ada yang menyisakan titipan untuk orang-orang yang mereka pandang layak mendapat hadiah agar ‘lebih siap’ menghadapi lebaran.
Dengan beragam catatan itu, tak mengherankan kalau kemudian THR menjadi perbincangan utama mendekati lebaran. Seperti tahun ini, rating perbincangan THR lebih tinggi dan lebih menarik daripada berita persidangan di MK atau polemik ketetapan menteri Pendidikan yang tak lagi mewajibkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Setiap tahun perbincangan tentang THR ini selalu menarik diikuti karena menyangkut tentang uang tambahan atau bonus yang diperuntukkan menambah kesejahteraan buruh, karyawan, PNS, TNI/POLRI, dan pensiunan dalam menghadapi Idulfitri.
Bagi mereka yang masuk kategori aparatur negara maupun pensiunan boleh sedikit berbangga hati karena THR telah terjamin. Meski begitu, masih ada kecemasan karena pencairannya harus terlebih dahulu dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres). Sementara bagi buruh atau karyawan swasta walaupun sudah ada regulasi yang mengatur harus menunggu keputusan pengusaha atau perusahaan tempat mereka bekerja. Tak sedikit perusahaan yang enggan mengeluarkan THR karena besarnya tambahan pengeluaran. Masa-masa menunggu keputusan ini tak jarang memicu turbulensi di dalam perusahaan.
Satu hal lain yang erat hubungannya dengan THR ini adalah uang kertas baru. Utamanya pecahan kecil. Umumnya disiapkan untuk keluarga yang masuk kategori anak-anak. Keberadaan uang baru ini seperti sebuah kewajiban sehingga banyak muncul jasa penukaran uang. Namun, Ramadan tahun ini sedikit berbeda. Bank Indonesia sebagai otoritas membuat pembatasan, akibatnya sulit didapatkan. Kesulitan ini hampir dialami semua kalangan, termasuk penulis. Bahkan, meski telah menggunakan ‘jalur orang dalam’ tetap tidak berhasil. Antrean di bank pun menjadi tontonan lumrah. Tak perlu apa nama banknya, tak kuasa membendung ratusan nasabah yang siap transaksi. Pun dengan mesin ATM. Para nasabah yang hendak mengirim uang, menarik uang, atau sekadar mengecek saldo mengular. Bahkan, tengah malam pun terkadang masih ramai.
Sedikit cerita, saat tulisan ini ditik, ponsel beberapa kali berbunyi menandakan ada pesan masuk. Kebanyakan isinya meminta ‘arahan dan petunjuk’ menghadapi hari kemenangan. Itu semua adalah keriuhan menjelang hari kemenangan. Setiap kondisi dan situasi yang tercipta selalu ada pilihan untuk bersikap. Entah kita memilih mengikuti arus, melawan arus, atau sekadar menonton, wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Mukhtar Nasution
Penulis adalah ASN pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Madina