Panyabungan (HayuaraNet) – Di tengah upaya menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) yang sering digaungkan oleh bupati dan wakil bupati Mandailing Natal (Madina), Sumut, ternyata capaian target pendapatan di bawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) setempat tak makmisal.
Selain kepala daerah, fraksi-fraksi di DPRD Madina juga sering menyoroti tidak optimalnya pemungutan PAD dari berbagai sektor. Hal itu sering disampaikan saat pandangan umum fraksi-fraksi ketika sidang paripurna digelar.
Ketidakmaksimalan penagihan Disperindag Madina dalam menaikkan PAD terlihat dari realisasi target retribusi pasar yang langsung ditagih oleh dinas tersebut. Dari enam pasar tidak ada satu pun yang terealisasi 100%. Bahkan masih ada yang masih di angka 50,39%.
Dalam daftar target dan realisasi pungutan retribusi pasar yang diterima HayuaraNet, ada enam pasar yang langsung ditangani oleh Disperindag, yakni pasar Tamiang, Muarasipongi, Laru, Mompang, Gunung Baringin, Panyabungan, dan Kotanopan.
Target paling tinggi ada di Pasar Panyabungan dengan angka Rp251.640.000, tapi hanya terealisasi Rp209.425.000 atau 83,22%. Sementara target terendah ada di Pasar Gunung Baringin yang ada pada angka Rp4.101.600, tapi hanya terealisasi 50,39% atau senilai Rp2.067.000. Untuk 26 pasar lain penagihannya ada di bawah wewenang kecamatan.
Selain retribusi pasar yang tak bisa dimaksimalkan, Disperindag Madina juga diduga tak bisa memanfaatkan sewa aset pemerintah dengan baik. Berdasarkan informasi dari sumber terpercaya, sewa aset di pasar lama panyabungan tak berhasil ditagih secara penuh.
Lahan untuk bangunan bertingkat yang ada di samping Aek Mata (deretan Toko Kemajuan), sesuai keterangan Kepala Bidang Aset BPKAD Madina Armin Saputra Hakim Harahap merupakan aset Pemkab Madina.
“Tanahnya aset pemerintahan daerah, tapi kalau bangunan kurang tahu,” katanya di Panyabungan, Rabu (26/7) kemarin.
Berdasarkan keterangan Disperindag Madina angka yang dipatok pemerintah melalui Perda Nomor 8 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umun untuk sewa aset tersebut di kisaran Rp24 juta per tahun. Namun, yang berhasil diterima hanya di kisaran Rp16 juta.
Angka tersebut jauh di bawah rata-rata sewa ruko bertingkat di sekitan Kota Panyabungan. Salah satu pedagang menyebutkan, dalam satu tahun harus menrogoh kocek sampai Rp30 juta per tahun. Namun, ada juga pedagang yang menyewa di angka Rp20 juta.
Kepala Disperindag Madina Parlin Lubis yang dimintai keterangan membenarkan dinas yang dipimpinnya tak bisa mernarik sewa secara penuh. Penyewa, jelas Parlin, langsung menyetorkan sewa bangunan langsung ke rekening daerah.
Hal ini, kata Parlin, telah menjadi temuan BPK akibat adanya kekurangan bayar. “Tapi, Dinas Perdagangan secara administrasi sudah menyurati penyewa dan sudah masuk surat teguran ketiga,” jelasnya, Jumat (28/7).
Disperindag Madina akan menyerahkan permasalahan ini kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Madina apabila surat teguran ketiga tetap tidak diindahkan penyewa.
Husnul Yakin, salah satu pedagang di lokasi mengatakan pihaknya secara langsung membayar uang sewa ke rekening pemerintah tanpa perantara.
“Sebenarnya penyewa ruko ini Imran Lubis,” katanya sembari menyodorkan kwitansi pembayaran sewa.
Pengusaha lain yang diwawancarai menyebutkan, ruko tersebut telah lama mereka sewa dan langsung transfer ke rekening daerah. Dia meyakini, bahwa uang sewa tersebut untuk sewa gedung, bukan hanya tanah.
“Ini, kan, sudah hak guna usaha. Saya lupa angkanya karena itu sekitar tiga tahun lalu. Tahun-tahun berikutnya ayah yang menyetor,” ucap pria yang berdagang minyak goreng ini.
Selain bangunan di jejeran tersebut, Pemkab Madina seyogianya punya aset berupa empat bangunan ruko di kompleks Madina Square. Namun, belum bisa dimasukkan ke dalam daftar aset karena belum serah terima dari developer.
Akibatnya, keempat ruko itu tak bisa disewakan. Bahkan pembangunannya pun masih terbengkalai. Terkait ini Parlin mengaku telah berupaya menghubungi pihak provider, tapi belum membuahkan hasil. (RSL)