CATATAN REDAKSI – Praktik penggalian bebatuan untuk mendapatkan bijih emas di daerah aliran sungai (DAS) Kecamatan Kotanopan masih berlangsung di tengah desakan berbagai pihak untuk segera dihentikan. Bahkan, maklumat forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) Kabupaten Mandailing Natal (Madina) tak jua menjadi perhatian bagi pelaku.
Justru keputusan Forkopimda menutup tambang ilegal yang beroperasi menggunakan excavator itu mendapat reaksi tak terduga dari penambang. Alih-alih berhenti, mereka justru menambah alat berat dan terlihat semakin semangat serta tanpa takut. Tak kurang dari tiga alat bertambah dalam kurun waktu 10 hari sejak maklumat penghentian itu disampaikan wakil bupati Madina.
Reaksi berani para pelaku tambang pun menimbulkan berbagai asumsi masyarakat. Salah satunya, ada indikasi keuntungan aktivitas itu turut dinikmati orang-orang yang seharusnya berada pada garda terdepan penegakan hukum. Indikasi itu masuk akal. Patut diketahui, salah satu lokasi penggalian berada di dekat kantor Polisi Sektor (Polsek) dan Koramil Kotanopan. Rasanya tak mungkin aktivitas sebesar itu tanpa pengetahuan para penegak hukum di wilayah itu. Apalagi aktivitas tersebut telah berlangsung hampir setengah tahun.
Lalu, apa yang menyebabkan APH seperti tak melihat dan terkesan menutup mata? Alasan paling masuk akal hanya dua hal, menerima upeti atau ada kekuatan lain yang lebih besar. Alasan itu diperkuat dengan lemahnya keputusan Forkopimda yang memberikan ruang bagi penambang untuk leluasa beraktivitas dalam 21 hari dan bisa diperpanjang sejak maklumat penghentian itu dikeluarkan.
Tenggang waktu yang diberikan kepada pelanggar hukum itu, kata Ketua KNPI Madina Khairil Amri Nasution, menimbulkan kecurigaan bahwa telah ada kesepakatan sebelum rapat digelar. Seolah memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menyelesaikan masa sewa alat berat jenis excavator itu. Tentu, sewa alat sejenis itu tak murah.
Di sisi lain, Kapolres Madina AKBP Muhammad Reza Chairul Akbar Sidiq pun seolah tak berdaya. Bagaimana tidak, dalam rentang enam bulan alat berar beroperasi pihaknya baru melakukan penyelidikan. Aktivitas terang benderang seperti itu masih butuh penyelidikan lebih dari setengah tahun. Padahal jelas, Kotanopan, khususnya DAS Batang Gadis, tidak termasuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ditetapkan pemerintah.
Lambannya pergerakan APH dan lokasi yang begitu dekat dengan kantor polisi, koramil, dan Kantor Camat Kotanopan menambah kecurigaan masyarakat. Belum lagi ada istilah ‘semir’ yang dipakai masyarakat untuk menggambarkan kuatnya pengaruh para penambang di antara aparat dan pejabat di sana. Rasanya makna frasa semir itu bisa ditafsirkan dengan mudah oleh masyarakat awam sekalipun.
Sikap wakil bupati, sebagai pejabat dan putri daerah, yang berbeda pada kasus sama beberapa waktu lalu juga menjadi sorotan. Dulu, saat ada excavator beroperasi, orang nomor dua di Pemkab Madina itu langsung menjumpai kapolres. Hasilnya, excavator diusir dan operasi dihentikan. Namun, untuk penambangan yang berlangsung saat ini seolah meruntuhkan kekuasaan dan kekuatannya.
Terkini, para penambang pun telah masuk ke ranah opini publik. Tambang yang mengancam keberlangsungan ekosistem sungai dan persawahan warga di hilir diframing seakan-akan satu-satunya usaha untuk bertahan hidup. Ibu-ibu yang mencari bijih emas digambarkan sebagi orang-orang yang akan kehilangan mata pencaharian ketika aktivitas excavator itu dihentikan. Ada kesan membenturkan masyarakat setempat.
Kalau jeli, pencarian emas secara tradisional telah berlangsung di wilayah tersebut dari zaman dahulu. Bahkan hal seperti itu telah ada sebelum negara ini merdeka dan tak pernah menjadi masalah. Sebab, yang menjadi persoalan adalah alat berat yang mengeruk bebatuan dan tanah di pinggir sungai. Framing sesat itu terus digaungkan sehingga akar masalahnya kabur.
Apakah sebelumnya ada pelarangan atau desakan penghentian aktivitas mencari bijih emas secara tradisional? Jawabannya, tidak. Sebanyak apapun bijih emas yang berhasil diambil masyarakat secara tradisional tak pernah menjadi perdebatan, apalagi sampai menimbulkan polemik. Justru, dengan menggiring opini ini membuka peluang lebih besar terjadinya benturan di tengah-tengah masyarakat. Saat wakil bupati menjumpai kapolres untuk menghentikan aktivitas excavator, tidak satu pun penambang tradisional diusik. Mereka tetap bisa bekerja sebagaimana biasanya.
Penghentian aktivitas excavator sebenarnya bukan turut menghentikan peluang masyarakat meningkatkan ekonomi dengan mencari bijih emas secara tradisional, tapi membuka peluang pendapatan mereka lebih baik. Seterusnya, timbulnya opini penghentian aktivitas excavator akan merugikan penambang tradisional tak lepas dari kesalahan APH. Kalau saja mereka bertindak lebih cepat, hal ini tak akan terjadi.
Sesuai keputusan Forkopimda tenggang waktu sekitar 10 hari lagi. Masih ada ruang bagi APH untuk menegakkan hukum dengan persuasif. Itu pun kalau mereka berani. (*)