Medan (HayuaraNet) – Surat klarifikasi pencopotan Dedi Dermawan Milaya yang dilayangkan pengurus Karang Taruna Sumatera Utara (Sumut) tak ditanggapi oleh Gubernur Edy Rahmayadi. Atas hal tersebut, Dedi mengajukan gugatan ke PTUN Medan.
Gugatan itu disampaikan Dedi melalui kuasa hukumnya Muhammad Rusli, Senin (09/1) kemarin. “Saudara Dedi menggugat Gubernur Edy Rahmayadi untuk membatalkan SK pencopotan dirinya dari jabatan Ketua Karang Taruna Sumut,” kata Rusli.
Dia menerangkan, keputusan tersebut diambil karena sebelumnya kliennya telah menyampaikan surat bantahan dan meminta surat klarifikasi, tapi sampai saat ini belum ada jawaban gubernur. “Gugatan ini atas keputusan pejabat negara sehingga gugatan disampaikan ke PTUN Medan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rusli menerangkan, Gubernur Edy tidak bisa serta merta mencopot dan mengangkat ketua Karang Taruna karena untuk penetapan ketua diatur dalam AD/ART organisasi.
“Perubahan Kepengurusan Karang Taruna harus dilakukan temu karya SK kepengurusan disahkan oleh di atas satu tingkat. SK Gubernur ini, kenapa bisa menonaktifkan bung Dedi dan mengangkat orang lain jadi Plt. Ini yang dilanggar Gubernur dan masih memakai refrensi yang lama,” papar Rusli.
Sementara itu, Dedi mengungkapkan, pengajuan gugatan tersebut bukan bentuk perlawanan terhadap Gubernur Edy. “Ini untuk minta penjelasan atas SK Gubernur dan patut diketahui gubernur adalah pembina Karang Taruna,” jelasnya.
Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Sumut ini menilai pencopotan dirinya tidak sesuai dengan AD/ART Karang Taruna. “Saya ingin mendudukkan dan jelaskan kepada Gubsu dan seluruh masyarakat Sumut bahwa Karang Taruna dibentuk oleh dari dan untuk masyarakat, sementara SK pengukuhan Gubsu legitimate sebagai mitra pemerintah untuk membantu program kesejahteraan sosial,” terang Dedi.
Dia berharap, pengajuan gugatan tersebut bisa menjadi titik terang persoalan Karang Taruna yang berujung pencopotan dirinya dari jabatan ketua.
Dedi juga mempertanyakan keputusan Gubernur Edy menetapkan Samsir sebagai ketua Karang Taruna mengingat yang bersangkutan tak pernah menjadi pengurus baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun desa/kelurahan.
“Bagaimana mungkin tiba-tiba misalnya, orang yang tidak pernah berada di lembaga ini, disuruh masuk dan dipaksa menjadi nakhoda,” pungkasnya. (RSL)