Sengketa Lahan Rugikan Warga Batahan Libatkan Banyak Pihak, Termasuk Pejabat Daerah

Batahan (HayuaraNet) – Sengketa lahan seluas 1.200 hektare di kawasan Tompek, Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, yang merugikan warga , utamanya yang tergabung dalam KUD Pasar Baru Batahan melibatkan banyak pihak, mulai dari tokoh masyarakat, pengusaha, dan pejabat daerah.

Akibat ulah para mafia tanah itu, lahan KUD Pasar Baru Batahan disebut diserobot PTPN IV seluas 1.200 hektare. Hal tersebut terjadi diduga karena perusahaan yang berada di bawah naungan BUMN itu tak berhasil menguasai lahan di Tompek meskipun telah mengeluarkan biaya sekitar Rp7 miliar saat take over (pengambilalihan) dari PT AAN pada pertengahan tahun 2000-an.

Dugaan itu disampaikan Ahmad Fathoni, salah satu warga Batahan, ketika diwawancarai di salah satu warung di Pasar Batahan. “Itu kemarin sudah dijelaskan pemerintah kabupaten, tidak pernah ada izin lain dikeluarkan di lokasi yang 3.200 hektare selain ke KUD Pasar Baru Batahan,” katanya terkait PTPN IV yang disebut menyerobot 1.200 hektare lahan KUD.

Kasus ini bermula saat PTPN IV take over lahan milik PT Agro Andalas Nusantara (AAN) pada pertengahan 2000 di dua hamparan. Saat itu, perusahaan milik pemerintah mengambil alih seluas 4.600 hektare, tapi 1.200 dari lahan itu disebut berada dalam penguasaan mafia tanah.

“Lahan yang ini (Tompek) setelah take over dari Keretam ke AAN statusnya kemudian kadastral untuk dinaikkan izinnya, tapi izin HGU tidak keluar karena di lapangan ternyata dikuasi masyarakat, ada tumpang tindih kepemilikan,” terangnya.

Pada waktu yang berdekatan dengan take over PTPN IV, bupati Madina mengeluarkan izin lokasi kepada KUD Batahan seluas 3.200 hektare berbatasan dengan Kebun Balap milik PTPN IV. Lahan tersebut disiapkan sebagai lokasi pembangunan plasma oleh perusahaan plat merah itu dengan model kemitraan. Namun, belakangan hanya ditanamai seluas 1.700 hektare, sisanya 1.200 hektare diduga diserobot PTPN IV, dan sekitar 400 hektare lainnya bersengketa karena tumpang tindih kepemilikan.

Ahmad Fathoni Ketika Memberikan Keterangan (Roy SL).

Sebagai informasi, mafia tanah adalah kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang untuk menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah atau melanggar hukum.

Mantan Humas Kebun Balap PTPN IV Nopan menerangkan, sengketa KUD dengan perusahaan terkait lahan 1.200 hektare adalah efek dari aksi mafia tanah di areal Tompek. Pihaknya saat ini sedang berupaya mengambil alih kembali lahan tersebut.

“Ya. Upaya (pengambilalihan) itu ada. Kemarin kami kurang dukungan. Ini sensitif karena melibatkan beberapa oknum, oknum Pemkab juga ada,” katanya yang dihubungi melalu seluler, Kamis (15/9).

Dia menjelaskan, ketika hal tersebut berhasil akan ada opsi pengembalian tanah kepada masyarakat. “PTPN IV akan menyelesaikan ini sampai clear,” jelasnya.

Terkait dugaan penyerobotan tanah, pria yang saat ini bertugas di wilayah Ranto tidak memberikan jawaban jelas. “Itu bukan ranah saya menjelaskannya karena bukan pengambil kebijakan,” terangnya.

Sementara itu, bagian SDM PTPN IV yang juga merupakan humas perusahaan ketika dihubungi menyanggupi untuk memberikan jawaban, tapi sampai berita ini dirilis jawaban konfirmasi yang dikirim sejak Kamis (14/9) pukul 08.00 WIB tak jua diterima redaksi.

Sebelumnya, Camat Batahan Irsal Pariadi menerangkan ada beberapa orang yang menjual lahan di Tompek kepada perusahaan swasta. Lahan itu, jelas Irsal, bahkan sempat dua kali dijual kepada perusahaan yang sama dengan mengatasnamakan masyarakat.

Di samping itu, lahan tersebut ada juga yang di jual kepada perorangan sehingga bisa disimpulkan, sebagian dari 1.200 hektare itu ada yang dijual sampai tiga kali. “Ternyata lahan itu juga dijual kepada warga Sidimpuan, Pasaman, Panyabungan,” kata Irsal di ruang kerjanya, Rabu (06/9).

Dalam areal tersebut, ada sekitar 400 hektare yang menimbulkan sengketa panjang di tengah-tengah masyarakat. Atas hal itu, sesuai kesepakatan bersama diputuskan 168,5 hektare distanvaskan. Namun, hingga hari ini menjelang satu tahun sejak status stanvas dikeluarkan belum ada penyelesaian lebih lanjut.

Sengketa yang berlarut-larut ini telah merugikan banyak pihak, utamanya masyarakat, baik secara materiil maupun moril. Beragam cara telah ditempuh masyarakat, termasuk menghubungi presiden Republik Indonesia, tapi belum membuahkan hasil. (RSL)

Mungkin Anda Menyukai