Natal (HayuaraNet) – Ribuan keluarga di Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, sampai hari ini masih menanti realisasi Permentan Nomor 26 Tahun 2007, yakni kewajiban perusahaan membangun kebun plasma bagi masyarakat sekitar.
Dari enam perusahaan sawit raksasa yang beroperasi dan telah produksi di Kecamatan Natal baru dua yang merealisasikan pembangunan plasma. Sementara itu setidaknya ada sembilan desa/kelurahan yang belum menerima manfaat.
Lembaga Adat dan Budaya Rana Natal (LABRN) sebagai representasi masyarakat setempat telah melakukan berbagai upaya agar masyarakat bisa menerima manfaat kehadiran perusahaan berupa pembangunan kebun plasma.
“Kami sudah menyurati perusahaan-perusahaan yang beroperasi dan sudah produksi di Kecamatan Natal. Tindak lanjutnya berupa audiensi dengan bupati dan rapat bersama perusahaan pada Juli lalu,” kata Ketua LABRN Ali Anapiah di kantornya, Kamis (07/9).
Dalam pertemuan pad 12 Juli 2023 itu belum ada hasil konkret selain keterangan dari perusahaan-perusahaan terkait lahan dan upaya pembangunan plasma sesuai versi masing-masing. Bahkan disebutkan ada perusahaan yang mengaku telah mengeluarkan kewajiban, tapi setelah dicek ke lapangan hasilnya tidak sesuai keterangan yang disampaikan saat rapat.
Sementara dari enam perusahaan hanya empat yang hadir. Dua perusahaan tidak mengirimkan perwakilan tanpa alasan yang tidak diketahui. “Kalau alasannya undangan tidak sampai, rasanya tidak mungkin karena yang mengundang itu pemerintah,” terangnya.
Belum terpenuhinya hak-hak masyarakat setempat, jelas Ali Anapiah, tidak hanya menimbulkan kesenjangan, tapi juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
“Dulu pasar itu hanya ada di Natal. Sekarang sudah ada dua atau tiga pasar lagi yang tumbuh dengan perputaran ekonomi lebih tinggi dibandingkan pasar di Natal,” ujar mantan anggota DPRD Madina ini.
Dia menjelaskan, masyarakat tidak menuntut harus menerima satu atau dua hektare melainkan kewajiban perusahaan membangun kebun plasma seluas 20% dari luas lahan yang dikelola.
“Yang penting masyarakat menerima manfaat dan kewajiban 20% itu dipenuhi perusahaan. Mau setengah hektare atau berapa pun tidak masalah,” jelasnya.
Ketua LSM Granat Madina ini berujar, saat ini masih banyak masyarakat Natal yang menggantungkan hidupnya dengan menangkap ikan di laut. Hasil tangkapan, tambahnya, sering tidak cukup untuk membutuhi keluarganya. Untuk itu perlu realisasi plasma ini sehingga taraf hidup masyarakat naik.
Ali Anapiah mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Natal terkesan berupaya menghindar dari tanggung jawab membangun kebun plasma. Bahkan ada perusahaan yang mengklaim lahannya berada di wilayah Sinunukan.
“Itu ada perusahaan yang menyebut kebunnya Kebun Sinunukan. Padahal, kan, lahan transmigrasi tidak pernah bertambah. Lahan perusahaan itu ada di atas tanah Natal, bukan Sinunukan,” tegasnya.
Terkait kabar kedatangan Bupati Madina H. M. Jafar Sukhairi Nasution ke Kecamatan Natal dalam waktu dekat, Ali Anapiah berharap orang nomor satu di Pemkab Madina itu menjadikan infrastruktur dan pembangunan plasma sebagai prioritas kunjungan.
“Cuma dua hal yang benar-benar prioritas saat ini di Natal, infrastruktur dan pemenuhan hak-hak masyarakat oleh perusahaan. Kami harap pak bupati mengedepankan dua hal ini,” terangnya.
Berdasarkan data dan dokumen yang diterima HayuaraNet, setidaknya ada 2.410 kepala keluarga (KK) yang belum menerima manfaat dan tersebar di sembilan kelurahan/desa, yakni Pasar I Natal, Pasar II Natal, Pasar III Natal, Setia Karya, Pasar V Natal, Pasar VI Natal, Panggautan, dan Taluk.
Dua perusahaan yang telah menyelesaikan kewajiban kepada masyarakat adalah PT Dinamika Inti Sentosa (DIS) yang berlokasi di Sundutan Tigo dan PT Rimba Mujur Mahkota (RMM) yang berlokasi di Sikara-kara. (RSL)