Refleksi Hari Buruh: Pondasi Perjuangan yang Kini Jadi Seremonial

CATATAN REDAKSI – Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, puluhan ribu kaum buruh turun ke jalan-jalan negara untuk menyampaikan orasi dan aspirasi pada 01 Mei 2024. Tanggal itu ditetapkan sebagai Buruh Internasional atau May Day. Penetapan ini bermula dari gerakan buruh di Amerika Serikat pada tahun 1880-an yang memperjuangkan hak-hak dasar pekerja, termasuk jam kerja delapan jam per hari.

Puncak gerakan ini terjadi pada 04 Mei 1886. Aksi damai itu berujung petaka. Ledakan bom dan letusan senjata api menghiasi dan menewaskan banyak pekerja dan polisi. Peristiwa mengenaskan itu dikenal dengan Kerusuhan Haymarket.

Di Indonesia peringatan Hari Buruh baru mulai dikenal pada medio awal 1900-an. Serikat Buruh Kung Twang Hee mnggelar aksi damai pada 01 Mei 1918 yang menyampaikan kritik kepada pemerintah kolonial karena harga sewa tanah yang terlalu murah bagi kaum buruh untuk dijadikan perkebunan. Tak hanya itu, para buruh diharuskan bekerja dalam waktu lama dengan upah yang kecil.

Peringatan Hari Buruh di Indonesia sempat dilarang pada maza rezim Orde Baru karena dipandang sebagai produk komunisme. BJ Habibie kemudian mencabut larangan itu dan disempurnakan Susilo Bambang Yudhoyono dengan menetapkan May Day sebagai hari libur Nasional.

Buruh bisa disebut sebagai tulang punggung Revolusi Industri. Maka, tak mengherankan perhatian terhadap kesejahteraan buruh telah muncul sejak awal. Pada masa lalu, pekerja di pabrik-pabrik banyak yang dieksploitasi. Bekerja dalam waktu lama dengan upah yang jauh dari kata layak. Eksploitasi itu bahkan sudah sampai pada tahap memprihatinkan.

Dalam banyak kasus ada buruh yang meninggal atau mengidap penyakit demi upah yang tak seberapa. Misalnya, pekerja di perusahaan korek api Bryant and May, Inggris. Para pekerja yang didominasi remaja putri (usia sekitar 14-an) harus bekerja dalam waktu lama di tengah uap racun yang bersumber dari ujung korek api. Akibatnya, banyak pekerja yang mengidap penyakit rahang Phossy atau yang lebih dikenal dengan pembusukan tulang rahang. Kian hari, pasien sejenis kian memadatai rumah sakit di sekitar lokasi pabrik yang berujung dengan munculnya desakan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan ramah bagi pekerja.

Di masa lalu, mungkin sampai saat ini, para pemilik pabrik atau perusahaan cenderung melihat buruh sebagai materi sehingga bisa diekspolitasi tanpa batas. Upaya memperjuangkan hak dasar mereka kerap dianggap sebagai tindakan perlawanan yang berakhir dengan kekalahan pada sisi kaum buruh. Tak sedikit pula dari mereka, buruh yang memperjuangkan hak, dibungkam. Salah satu yang melegenda di Indonesia adalah kisah Marsinah yang memperjuangkan 13 rekan kerjanya di PT Catur Putra Surya yang dipanggil Kodim 0816 Sidoarjo untuk dipaksa mengundurkan diri.

Perjuangan Marsinah berakhir tragis. Pada 08 Mei 1993, mayat Marsinah ditemukan segerombolan anak-anak di sebuah gubuk di pinggiran hutan jati Wilangan, Desa Jegong, Nganjuk. Kondisi mayatnya penuh luka. Berdasarkan hasil visum et repertum dr. Jekti Wibowo ditemukan luka robek tak teratur sepanjang 3 cm mulai dari dinding kiri lubang kemaluan sampai ke dalam rongga perut. Di dalam ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur.

Kemudian, selaput dara robek serta ditemukan memar pada kandung kencing dan usus bagian bawah. Rongga perut mengalami pendarahan. Aparat militer lalu menangkap dua satpam dan tujuh pimpinan PT CPS. Mereka digelandang ke Markas Detasemen Intel Kodam V Brawijaya Wonocolo. Di sana mereka disekap selama 19 hari. Mengalami penyiksaan agar mengaku telah merencanakan pembunuhan Marsinah.

Perlakuan buruk dan dianggap sebagai kelas bawah dalam kasta masyarakat membuat perjuangan buruh sering tak dianggap. Bahkan peringatan Hari Buruh boleh disebut hanya sebatas seremonial. Hak-hak mereka masih sering dikebiri, termasuk oleh pemerintah. Undang-Undang Cipta Kerja dipandang tak mampu memberikan kesejahteraan kepada buruh.

Malah banyak yang menilai UU itu membawa petaka bagi kaum buruh. Pandangan rendah terhadap ‘buruh’ membuat banyak buruh lebih ‘nyaman’ disebut karyawan, dosen, guru, barista, penyiar, reporter, manajer, supervisor, dan lainnya. Sesuai KBBI, buruh diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah.

Belakangan, peringatan hari buruh kian massif, tetapi esensinya semakin tertinggal. Aksi buruh sebagian besar hanya sebatas longmarch, sementara perhatian dan keberpihakan negara masih jauh. Dalam banyak kasus, pemerintah sering tak berdaya ketika berhadapan dengan perusahaan.

Bahkan, di tubuh perusahaan milik pemerintah saja, pengebirian terhadap hak-hak buruh masih sering terjadi. Salah satu contohnya adalah kondisi yang dihadapi karyawan PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU) di Kabupaten Mandailing Natal. Para buruh atau karyawan tak menerima gaji pada dua bulan pertama tahun ini. Mereka pun terpaksa harus mengemis untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.

Kondisi serupa juga terjadi di perusahaan-perusahaan swasta. Banyak yang tak memberikan hak-hak pekerjanya. Tak sedikit pula yang memberikan gaji di bawah standar yang dikeluarkan pemerintah.

Buruh merupakan kelompok rentan. Mereka bisa diberhentikan (PHK) kapan saja. Maka, semestinya Hari Buruh adalah momentum bagi pemerintah untuk hadir memberikan regulasi yang menunjang kesejahteraan mereka dan peraturan yang memihak pada hak pekerja. Serikat buruh harus pula terus melakukan reformasi organisasi sehingga tujuan tercapai. (*)

Mungkin Anda Menyukai