Batahan (HayuaraNet) – Sejatinya kehadiran seorang ayah adalah untuk memberikan perlindungan, tempat mengadu, dan pemenuh kebutuhan anak sampai dia dewasa dan mandiri. Peran ini tak hanya dalam keluarga, tapi juga dalam perkebunan atau yang sering disebut avalis (penjamin).
Namun, keberadaan PTPN IV di Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, tak menggambarkan hal tersebut. Justru yang terjadi adalah ayah makan anak. Bagaimana tidak, perusahaan yang berada di bawah naungan BUMN itu bukan hanya tak menyelesaikan pembangunan kebun plasma, tapi juga ‘menyerobot’ lahan KUD Pasar Baru Batahan sebagai anak angkatnya.
Kasus ini bermula saat PTPN IV mengambil alih lahan PT Agro Andalas Nusantara (AAN) seluas 4600 hektare sekitar tahun 2006 silam. Mengetahui hal tersebut masyarakat komplain dan bereaksi. Pasalnya, saat PT AAN hadir di sana ada kewajiban memberikan lahan 20% dari total luas lahan yang dikuasai.
Langkah meredam komplain masyarakat, Pemkab Madina mengeluarkan izin lokasi kepada KUD Pasar Baru Batahan untuk mengelola 3.200 hektare sesuai dengan Surat Bupati Madina Nomor 522/652/Dishut/2007 bertanggal 30 Maret 2007. Untuk membangun lahan tersebut, PTPN IV ditunjuk sebagai avalis. Hal itu tertuang dalam surat perjanjian kerja sama dengan poin utamanya adalah pelaksanaan program revitalisasi pembangunan plasma dengan sistem profit sharing.
Nyatanya, PTPN IV tak bisa menguasai sepenuhnya lahan yang diambil alih dari PT AAN. Setidaknya ada 1.200 hektare yang tidak bisa dikuasai. Atas hal itu, perusahaan tersebut mengambil alih, dalam bahasa masyarakat disebut menyerobot, lahan KUD Pasar Baru Batahan seluas lahan yang tidak bisa dikuasi PTPN IV. Tindakan ini mendapat penolakan dan perlawanan dari masyarakat.
“Karena arogansi kekuasaan, dia (perusahaan) tanam sendiri. Misal, ini bukan lahan KUD Pasar Baru Batahan, sebutlah tanah negara, tetap salah karena dia tidak punya izin,” kata Ahmad Fathoni, salah satu warga dan tokoh masyarakat setempat, Rabu (13/9) lalu.
Fathoni pun menggambarkan keberadaan perusahaan itu seperti ayah makan anak. “Seharusnya PTPN IV itu membantu dan menyelesaikan pembangunan kebun seluas 3.200 hektare itu, bukan malah menyerobot tanah masyarakat,” tegasnya.
Berdasarkan keterangan Fathoni, saat ini baru 1.700 dari 3.200 hektare yang telah ditanami. Pembangunan plasma itu bersumber dari dana revitalisasi perkebunan. “Bukan dana PTPN, tapi mereka ditunjuk sebagai avalis,” ujarnya.
Ketidakmampuan PTPN IV menguasai seluruh lahan yang diambil alih dari PTPN IV, pihak manajemen menyurati bupati Madina pada 18 Desember 2007.
Poin kedelapan dalam surat itu berbunyi, “Namun melihat adanya tuntutan KUD Pasar Baru Batahan atas lahan yang dikuasai oleh PTPN IV, Kebun Balap, maka kami berharap dibicarakan kembali dan dalam penyelesaiannya diperhatikan juga lahan inti berdasarkan izin lokasi yang diterbitkan oleh Pemkab Madina tahun 2007, yang secara kenyataan tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh PTPN IV”. Surat itu ditandatangani Rediman Silalahi.
Bupati Madina saat itu, Dahlan Hasan Nasution mengeluarkan surat balasan. Pada poin ketiga surat tersebut disampaikan bahwa dalam diktum pertama angka 13 Surat Keputusan Bupati Mandailing Natal Nomor 525.25/158/K/2007 tanggal 30 Maret 2007 terdapat syarat dan ketentuan antara lain, Koperasi dan mitra PT Perkebunan Nusantara IV (persero) mengolah sendiri tanah yang diberi izin lokasi sesuai dengan peruntukannya dan tidak dibenarkan membebaskan tanah di luar areal izin lokasi, memindahtangankan izin lokasi kepada pihak lain tanpa izin yang berwenang.
Pada poin ketujuh, ditegaskan bahwa meskipun kebun plasma yang sudah terealisasi di atas 20 persen tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk menjadikan lahan plasma sebagai kebun inti.
Isin surat yang dikeluarkan bupati itu sesuai dengan penuturan Fathoni. Dia menilai langkah PTPN IV menanami lahan KUD seluas 1.200 hektare adalah penyerobotan. Tak hanya itu, kabarnya PTPN IV memasukkan lahan yang diserobot itu sebagai bagian dari aset. “Artinya PTPN ini mendaftarkan harta curian sebagai aset,” jelasnya, Kamis (14/9).
Dalam beberapa pertemuan yang telah dilalui masyarakat, dalam hal ini pengurus dan anggota KUD Pasar Baru Batahan, terungkap bahwa Pemkab Madina tidak pernah memberikan izin kepada pihak lain terkait lahan yang izinnya dimiliki koperasi tersebut.
PTPN IV Punya Izin Lokasi
Namun, pengakuan masyarakat dan data-data yang ditampilkan berbanding terbalik dengan keterangan PTPN IV. APK Kebun Balap Rangga menerangkan perusahaan perkebunan milik pemerintah itu diberikan izin lokasi pada saat lahan dibuka. Lalu, KUD Pasar Baru Batahan mengklaim memiliki izin di lahan yang sama. Namun, Rangga tak melampirkan bukti kepemilikan izin tersebut.
Tak hanya itu, dia pun menyebutkan ada mafia tanah di Madina. Hal ini terindikasi dengan adanya tumpang tindih SK yang dikeluarkan bupati. “Untuk harganya kurang tahu, tapi untuk selisihnya ada karena ada tumpang tindih SK bupati yang diberikan sama kami waktu itu,” jelasnya, Minggu (17/9).
Keberadaan mafia tanah ini sesuai dengan keterangan mantan Humas PTPN IV Kebun Balap Nopan. Dia menerangkan, sengketa KUD dengan perusahaan terkait lahan 1.200 hektare adalah efek dari aksi mafia tanah di areal Tompek. Pihaknya saat ini sedang berupaya mengambil alih kembali lahan tersebut.
“Ya. Upaya (pengambilalihan) itu ada. Kemarin kami kurang dukungan. Ini sensitif karena melibatkan beberapa oknum, oknum Pemkab juga ada,” katanya yang dihubungi melalu seluler, Kamis (14/9).
Terkait kepemilikan izin lokasi KUD, Nopan mengaku pernah melihat suratnya. Namun, untuk menyebut penanaman dan pemanenan di lokasi 1.200 hektare yang izinnya dimiliki KUD Pasar Baru Batahan, dia tidak membantah juga tidak mengonfirmasi adanya penyerobotan.
“Itu bukan ranah saya menjelaskannya karena bukan pengambil kebijakan,” terangnya.
Sebelumnya, Camat Batahan Irsal Pariadi menerangkan ada beberapa orang yang menjual lahan di Tompek kepada perusahaan swasta. Lahan itu, jelas Irsal, bahkan sempat dua kali dijual kepada perusahaan yang sama dengan mengatasnamakan masyarakat.
Di samping itu, lahan tersebut ada juga yang dijual kepada perorangan sehingga bisa disimpulkan, sebagian dari 1.200 hektare lahan tersebut ada yang dijual sampai tiga kali.
“Ternyata lahan itu juga dijual kepada warga Sidimpuan, Pasaman, Panyabungan,” kata Irsal di ruang kerjanya, Rabu (06/9).
Dalam areal itu, ada sekitar 400 hektare yang menimbulkan sengketa panjang di tengah-tengah masyarakat. Atas hal itu, sesuai kesepakatan bersama diputuskan 168,5 hektare distanvaskan. Namun, hingga hari ini menjelang satu tahun sejak status stanvas dikeluarkan belum ada penyelesaian lebih lanjut. (RSL)