Muara Siambak (HayuaraNet) – Tanah Mandailing kerap disebut Tano Sere (Tanah Emas) karena banyaknya titik-titik penambangan emas sejak masa pra-kemerdekaan sampai hari ini. Berbagai pihak turut ambil bagian menikmati kekayaan alam ini, mulai dari masyarakat biasa, para pemodal, pejabat, sampai aparat. Maka, selain menawarkan kekayaan, tambang emas juga menyimpan potensi konflik.
Potensi itu terlihat di Sibaluang, Desa Muara Siambak, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut. Berdasarkan penuturan warga, di desa tersebut ada perbukitan yang sedang dijamah masyarakat karena mengandung bijih emas yang menjanjikan. Tak ayal, sebagian warga pun menggantungkan harapan di perbukitan yang dikenal dengan nama Sibaluang ini.
Namun, sesuai keterangan warga yang enggan namanya dituliskan, dari satu sisi bukit Sibaluang dijamah oleh masyarakat sekitar sementara di sisi lain dijamah oleh pemodal dengan back-up ‘kesatuan tertentu’. Sampai di sini tak ada persoalan.
Potensi konflik baru muncul setelah galian dari satu sisi menyentuh galian sisi yang lain. Kedua pihak pun tarik-menarik. Satu sama lain merasa benar dan berhak menguasai wilayah pertambangan itu.
Kondisi ini diperparah dengan adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu kepada masyarakat. Bahkan, jelas nara sumber, ada warga yang dijemput pagi-pagi buta. Akibatnya, banyak masyarakat yang tak berani mencari rezeki di pertambangan tersebut. Selain itu ada upaya-upaya yang terkesan memecah belah masyarakat.
“Situasi ekonomi dan cuaca belakangan ini membuat warga beralih ke pertambangan. Harga karet tidak menjanjikan ditambah hampir tiap hari hujan turun,” kata nara sumber.
Mengingat biaya hidup, utamanya urusan dapur, tak bisa ditunda-tunda membuat masyarakat mau tak mau harus mencari sumber penghasilan lain. Turut serta menggali tanah untuk mencari bijih emas jadi pilihan.
Situasi pelik di Muara Siambak terkait tarik-menarik pemilik lubang galian bijih emas itu pun seperti bom waktu. Meskipun saat ini sedang ada jeda untuk meredakan situasi, tapi kalau tidak ada penengah yang baik bukan tak mungkin konflik benar-benar terjadi.
Keberadaan pihak-pihak yang melakukan intimidasi harus menjadi perhatian setiap yang berkepentingan di sana. Sebab hal ini tidak hanya akan menimbulkan perpecahan, tapi juga menjadi pemantik terjadinya konflik. Kalau konflik terjadi yang paling merugi dan palinh merasakan dampaknya adalah masyarakat setempat.
Potensi konflik yang kian hari kian besar ini harus menjadi perhatian instansi terkait. Kajian lapangan dan pembuatan regulasi tambang rakyat harus segera dilakukan. Apalagi, sebelumnya pemerintah pusat telah menyetujui pembuatan wilayah pertambangan rakyat (WPR) di Madina. Akan menjadi sesuatu yang riskan ketika konflik pecah baru tergerak untuk mengeluarkan regulai. (RSL)