Panyabungan (HayuaraNet) – Beberapa masyarakat di daerah pemilihan (Dapil) 5 Kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang terdaftar sebagai penerima PKH (Program Keluarga Harapan) mengaku menerima ancaman dari pendamping apabila tidak memilih calon legislatif (caleg) tertentu. Ancaman itu berupa penghentian keikutsertaan dalam program tersebut.
“Kami dipaksa harus memilih calon legislatif tertentu. Kalau tidak, katanya data kami dikeluarkan dari penerima bantuan,” kata salah seorang warga yang berhasil dimintai keterangan di Kecamatan Siabu, Madina, Sumut, Selasa (30/01).
Namun, peserta yang memiliki tiga anak sedang dalam masa pendidikan ini enggen memerinci nama caleg, tingkatan caleg, dan partai yang harus dimenangkan. “Bapak pasti paham itu,” ujarnya.
Senada dengan itu, warga lain di kecamatan tersebut mengaku menerima ancaman serupa. “Anggo tu au adik tarsongon manggogohon do. Pala inda ita monangkon naonan taon naro ampot naso dohot be ita manarimo bantuan PKH i, ningna do,” kata perempuan berusia 43 tahun ini.
Kalimat tersebut kira-kira bermakna, kalau untuk saya bukan ancaman hanya semacam dorongan agar memenangkan caleg tertentu. Kalau caleg itu tidak terpilih, bisa jadi tahun depan kami tidak ikut menerima bantuan PKH lagi.
Warga yang berhasil diwawancarai mengaku tidak nyaman dengan cara-cara yang digunakan pendamping tersebut. Menurut mereka, kebebasan memilih anggota legislatif tidak ada kaitannya dengan daftar penerima bantuan PKH. “Ini, kan, bantuan pemerintah. Bukan bantuan caleg,” terang penerima.
Terkait pengaduan kepada Panwascam atau Bawaslu, mereka mengaku tidak berani karena takut nama mereka terungkap dan tidak dimasukkan lagi sebagai penerima. “Takut aja,” timpal mereka.
Sebelumnya pada medio Desember 2023 lalu, Menteri Sosial Republik Indonesia Tri Rismaharini menegaskan pendamping PKH selaku pelayan masyarakat tidak boleh melakukan kampanye atau mengajak orang lain memilih calon tertentu.
Namun, Risma tidak melarang pendamping PKH turut berpartisipasi politik untuk dirinya sendiri. “Kalau mereka pribadi, ya, ya, boleh lah (berpolitik) kalau pribadi,” kata Risma saat berkunjung ke RSUD Selaparang, Kamis (07/12/23).
Fenomena caleg (calon anggota legislatif) membajak bantuan pemerintahan untuk keuntungan elektoral belakangan marak terjadi. Tak hanya di Madina, salah satu kasus yang menarik banyak perhatian adalah kejadian di Sijunjuang, Sumatera Barat.
NT (40), seorang petani di Sijunjung, tahu persis artinya kalender berwarna kuning di rumahnya. Kalender itu diberikan pendamping PKH pada 10 Desember 2023. Kalender pemberian pendamping PKH itu disisipi pesan agar mendukung pencalonan RL sebagai caleg DPR.
“Tolong dibantu, ya. Kemarin (2019), kan, beliau sudah terpilih. Ini mau melanjutkan,” kata NT menirukan arahan pendamping sosial sebagaimana dimuat Kompas, Rabu (17/01) dan dilansir HayuaraNet, Selasa (30/01).
Dalam artikel yang dibagi dalam 16 tulisan itu disebutkan, informasi dari pendamping PKH yang tidak mau disebut identitasnya menyebut, pada 20 September 2023, RL mengumpulkan para pendamping sosial se-Kabupaten Sijunjung di sebuah hotel di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Pertemuan itu difasilitasi Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) Kabupaten Sijunjung.
Fenomena pemanfaatan bansos untuk pemenangan caleg juga terjadi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Bantuan sosial digunakan sebagai alat ancaman kepada warga untuk memilih caleg tertentu. Ancaman itu bahkan dilakukan oleh kepala desa. (RSL)