CATATAN REDAKSI – Persoalan kewajiban PT Rendi Permata Raya membangun kebun plasma bagi masyarakat Desa Singkuang I, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, belum jua menemui titik terang. Pertemuan demi pertemuan yang telah dilalui, termasuk dengan pejabat Pemkab Madina, seolah angin lalu yang tak mengubah apa-apa. Surat demi surat yang dilayangkan Bupati H. M. Jafar Sukhairi Nasution, Wakil Bupati Atika Azmi Utammi Nasution, dan Sekdakab Alamulhaq Daulay tak berdaya “membujuk” perusahaan perkebunan sawit itu.
PT Rendi bergeming. Kekeh dengan kehendaknya, membangun kebun plasma di luar HGU. Manajemen perusahaan menyebut kemauan itu sebagai bentuk itikad baik. Padahal sesuai dengan Permentan Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 11, kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan. Tentu, kalau ada penambahan kebun untuk plasma, artinya luas 20 persen itu pun akan bertambah. Patut diketahui, PT Rendi mengelola 3.741 hektare kebun sawit.
Masyarakat bukan tak berupaya mengejar apa yang menjadi hak mereka sesuai peraturan perundang-undangan. Aduan demi aduan telah disampaikan. Bahkan, Bupati Sukhairi per Oktober 2021 pernah berjanji akan menyelesaikan realisasi kebun plasma itu dalam 30 hari. Sukhairi saat itu menekankan kepada perusahaan untuk segera menunaikan kewajiban terhadap masyarakat.
Sejak hari itu sampai sekarang telah berlalu beberapa 30 hari, tapi janji itu tak kunjung ditepati. Per Agustus 2022, Wabup Atika di hadapan para wakil rakyat dalam satu sidang paripurna menjelaskan, pemerintah telah melakukan pembicaraan tindak lanjut dengan PT Rendi.
Kesepakatannya, perusahaan segera merealisasikan kebun plasma. Namun, kata segera itu tidak jelas maknanya. Sebab telah terlewati beberapa “segera” dan hasilnya masih nihil. Warga yang mendengar hal tersebut justru menyampaikan hal bertolak belakang. “Sampai hari ini tidak ada ketegasan pemerintah dalam mengambil sikap pelaksanaan MoU dan penentuan koperasi,” kata salah satu warga saat itu.
Sekitar dua bulan sejak Wabup Atika menyampaikan pidato terkait pembicaraan dengan PT Rendi terjadi unjuk rasa, masyarakat Desa Singkuang I beramai-ramai mendatangi kantor perusahaan untuk menyampaikan tuntutan realisasi kebun plasma.
Unjuk rasa itu dalam penilaian anggota DPRD Madina Teguh W. Hasahatan adalah akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah dan perusahaan. Tak tanggung-tanggung, Teguh meminta pemerintah mengambil kewenangan mencabut izin perusahaan (IUP).
Selang satu bulan, Fraksi Partai Golkar yang telah berkali-kali menyuarakan hal ini kembali meminta kejelasan pemerintah terkait progres realisasi kebun plasma itu. Fraksi yang digawangi Arsidin Batubara, Syariful Sarling Lubis, Sobir Lubis, Zubaidah Nasution, dan Erwin Efendi Nasution itu menilai publikasi progres harus terus berlangsung untuk menjaga kewibawaan pemerintah di mata masyarakat, khususnya masyarakat Desa Singkuang I. Kini, kekhawatiran itu yang justru terlihat.
Lalu, medio September 2022 perusahaan menyurati bupati Madina terkait rapat antara PT Rendi dan KUD Hasil Sawit Bersama (HSB) di Medan berakhir deadlock (buntu). Atas hal itu, perusahaan meminta waktu tiga bulan untuk melakukan kajian teknis dan rencana jangka panjang atas pembangunan plasma. Surat tersebut dibalas oleh Wabup Atika yang hanya memberikan waktu enam pekan dengan catatan apabila tetap tak bisa dipenuhi, maka Pemkab Madina akan mengambil langkah sesuai PP Nomor 26 Tahun 2021.
Jangka waktu yang diberikan oleh wakil bupati itu tak diindahkan oleh perusahaan. Meski demikian belum terlihat Wabup Atika menggunakan kewenangan pemerintah sesuai PP Nomor 26 itu. Pemerintah justru terkesan manut dengan kehendak perusahaan. Istilahnya, pemerintah seperti kehilangan taji di hadapan PT Rendi Permata Raya.
Atas hal itu, Arsidin Batubara meminta perusahaan untuk tidak mempermainkan warga. Apalagi kewajiban kebun plasma semestinya tidak jadi beban bagi PT Rendi karena telah diatur dalam undang-undang. Legislator dari Kecamatan Muara Batang Gadis ini menilai pemerintah juga harus menunjukkan konsistensi dengan tidak memberikan ruang bagi perusahaan mengulur waktu dalam membangun kebun plasma.
Pertengahan Januari 2023 lalu, KUD HSB melayangkan surat aduan yang ditujukan kepada kepala Kantor Wilayah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sumut. Ketua HSB Sapihuddin bahkan mengaku masyarakat telah jenuh melihat lambannya langkah pemerintah daerah. Padahal persoalan plasma ini telah disampaikan berkali-kali, bahkan sejak tahun 2020 lalu bisa disebut intens.
Terbaru Selasa (15/3/23), perusahaan dan masyarakat kembali mencoba duduk bersama untuk menemukan kata sepakat. Namun, seperti pertemuan sebelum-sebelumnya tak ada kata sepakat. PT Rendi tetap dengan kehendaknya, plasma dibangun di luar areal HGU yang diusahakan. Sementara, masyarakat kekeh dengan permentan, plasma diambil dari areal HGU. Pemerintah? Terkesan hanya jadi penonton. Segala tekanan dan peringatan yang dikeluarkan pemerintah seolah tak bernilai di mata perusahaan. (*)