Jakarta (HayuaraNet) – Pemerintah Republik Indonesia dan DPR dinilai telah mencabut demokrasi paling praktis melalui pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang.
Hal itu disampaikan anggota Dewan Pers Ninik Rahayu menyikapi pengesahan RKUHP melalui paripurna, Selasa (14/12) lalu.
“Kebebasan pers merupakan bentuk demokrasi paling praktis. Sangat disayangkan pemerintah dan DPR menghempaskan demokrasi dengan tak memedulikan kebebasan pers dalam RKUHP,” katanya, Kamis (8/12).
Ninik mengungkapkan, sebelumnya Dewan Pers telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan RKUHP. Dewan Pers bahkan menawarkan gagasan reformasi sejumlah pasal demi kebebasan pers dan demokrasi.
“Poin ketiga yang kami sampaikan, secara substantif RKUHP masih membatasi kemerdekaan pers dan potensi kriminalisasi karya jurnalistik,” jelasnya.
Ninik menilai RKUHP masih mengandung banyak pasal bermasalah terkait kebebasan pers. Menurutnya, pasal-pasal itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers dan berpotensi memberangus kebebasan pers.
Ninik menyebutkan, pemerintah terkesan tidak berkomitmen pada demokrasi. “Demokrasi yang diperjuangkan, sudah disepakati sebagai salah satu bentuk kita bernegara, pemerintah dan DPR sendiri yang mencabutnya,” ujarnya.
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan RKUHP pada Rapat Paripurna yang digelar Selasa (6/12) kemarin. Keputusan itu dibuat setelah pembahasan tingkat pertama menyetujui RKUHP.
Pengesahan RKUHP dilakukan di tengah permintaan sejumlah pihak untuk mencabut pasal bermasalah. Pemerintah dan DPR jalan terus meskipun mendapat banyak penolakan.
“Kalau untuk 100 persen setuju tidak mungkin kalau pada akhirnya nanti masih ada yang tidak setuju, gugat aja di Mahkamah Konstitusi,” ucap Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/12).