PAD dari Retribusi Pasar dan Sewa Kios Belum Maksimal, Perlu Keterlibatan Banyak Pihak

Panyabungan (HayuaraNet) – Capaian target pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dari sektor retribusi pasar dan penarikan sewa kios belum maksimal karena berbagai kendala. Untuk itu perlu kesadaran pedagang dan keterlibatan pihak terkait.

Hal itu disampaikan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Parlin Lubis didampingi Sekretaris Mangatas Tua ketika dimintai keterangan terkait kendala penarikan retribusi pasar dan sewa kios, Jumat (11/8).

Parlin menyebutkan persoalan penarikan retribusi tidak bisa serta-merta menyalahkan pedagang karena pada dasarnya pemerintah pun punya kelemahan dalam mengakomodasi fasilitas bagi penyewa.

“Pemerintah pun punya kelemahan, misalnya luas los yang dipakai pedagang itu tidak sama sehingga ada semacam kecemburuan apabila sewanya disamaratakan,” kata mantan kepala Dinas Perizinan ini di ruang kerjanya.

Sementara dari sisi pedagang, jelas Parlin, masih banyak yang tidak mengikuti peraturan atau perda terkait. Dia mencontohkan, ada pedagang yang memakai satu kios dengan barang jualannya masuk ke kios di sampingnya, tapi hanya mau membayar retribusi untuk satu kios.

“Kan, semestinya bayar dua kios. Akhirnya, negosiasi di bayar 1,5 kios. Terus ada juga yang jualannya tidak sampai satu kios, terus pedagang ini menyetor seadanya,” terang Parlin.

Dia mengungkapkan, untuk penarikan retribusi yang langsung dilakukan Disperindag hanya di enam pasar, yakni pasar Tamiang, Muara Sipongi, Tamiang, Gunung Baringin, Panyabungan, dan Kotanopan. Sementara 28 pasar lain kewenangan penarikan retribusi ada di kecamatan sesuai perbub yang keluar tahun 2014 lalu.

Pasar Kotanopan (bkppkutim.com).

“Tapi, kendala yang kami hadapi dari pengelola pasar di kecamatan adalah rutinitas penyetoran ke Dinas Perdagangan,” tambahnya.

Parlin menerangkan, seyogianya kepala pasar harus menyetor usai penarikan, tapi banyak yang menunggak sampai berbulan-bulan. “Untuk yang jauh kami kasih kompensasi waktu penyetoran satu kali per bulan,” lanjut pria yang pernah menjabat kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Madina ini.

Dia berharap, para kepala pasar di kecamatan melakukan penyetoran secara rutin. “Untuk yang menunggak sudah kami tegur dan surati,” tambahnya.

Terkait ini, Kadis Perindag telah menyerahkan nota dinas kepada Bupati Madina H. M. Jafar Sukhairi Nasution untuk rapat bersama camat, kepala pasar se-Madina, dan Badan Pendapatan Daerah. Namun, rapat belum terlaksana karena kesibukan persiapan peringatan HUTRI. “Kami mohonkan kepada pak bupati agar memimpin rapat ini.

Harapannya, melalui rapat ini nanti bupati Madinaa mencabut perbub sebelumnya dan mengembalikan pengelolaan pasar sepenuhnya kepada Disperindag sehingga target capaian PAD lebih maksimal.

Camat Siabu Syukur Soripada membenarkan capaian retribusi pasar di daerahnya tidak maksimal karena berbagai kendala, salah satunya ada kepala pasar yang memakai uang retribusi tersebut.

Kepala Pasar Simangambat Mahluddin Batubara menjelaskan, untuk retribusi pasar yang dia kelola telah disetorkan kepada Disperindag. “Kendalanya di pasar yang lengang,” ujarnya.

Sebagai informasi tambahan, sesuai catatan Disperindag di wilayah Siabu ada empat pasar yang menjadi target PAD, yakni Pasar Simangambat hanya tercapai 54,14 persen dari Rp37.312.800, Pasar Sinonoan (54,08% dari Rp60.112.800), Pasar Siabu (100%), dan Pasar Sihepeng (55,33% dari Rp42.626.400).

Berdasarkan data tersebut, pasar dengan realisasi target terendah ada di Kecamatan Sinunukan. Dari tiga pasar di sana, capaian paling tinggi adalah Pasar Sininukan III, yakni 16 pesen dari Rp52.495.200. Sedangkan pasar Sininukan I dan Sinunukan II hanya menyetor masing-masing Rp800 ribu sepanjang tahun 2022.

Salah satu kepala pasar di Sinunukan Dirman menerangkan, setoran yang minim tersebut dikarenakan uang yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional petugas, termasuk tukang sapu dan pengangkutan sampah.

Sementara itu, Mangatas menerangkan untuk maksimalisasi PAD dari sektor retribusi dan sewa kios harus disepakati model pendekatannya, bisnis atau sosial. “Ini sudah pernah saya tanyakan kepada DPRD, tapi saat itu mereka diam,” katanya.

Dia menambahkan, ketika model pendekatan bisnis dilakukan, maka capaian PAD akan meningkat. Untuk ini, perlu keterlibatan Satpol PP dalam menegakkan perda. “Kalau pendekatan sosial, ya, inilah hasilnya,” lanjutnya.

Kios Milik Pemkab Madina di Pasar Lama, Panyabungan. Uang Sewa Tak Pernah Dibayar Secara Penuh oleh Pengguna Sesuai Perda Maupun Perbub (Dok. HN).

Mangatas mencontohkan penarikan sewa kios di Pasar Lama, tepatnya Toko Kemajuan dan bangunan sejajarnya, tagihan sewa tidak pernah penuh diterima karena keengganan pedagang membayar sesuai perda maupun perbub. “Mereka beralasan lantai dua tidak dipakai,” tambahnya.

Patut diketahui, harga sewa yang dipatok Pemkab Madina untuk kios di lokasi tersebut sekitar Rp24 juta per tahun/kios. Namun, uang sewa yang disetor pedagang ke kas daerah hanya di angka Rp18,6 juta. Angka itu masuk golongan biaya sewa rendah di sepanjang pinggir jalan dari Kayujati sampai ke Simpang STAIN, Dalan Lidang.

Akibatnya, kekurangan sewa pedagang harus dibayar oleh pemerintah karena sempat menjadi temuan BPK. Dalam artian, Pemkab Madina membayar sewa untuk kios yang merupakan aset daerah.

Dalam waktu dekat ini, Disperindag akan meluncurkan program pembayaran retribusi dengan menggunakan barcode. Pilot project program ini rencananya akan dilaksanakan di Pasar Muara  Sipongi. “Jika berhasil akan kami ajukan peraturan bupatinya sehingga bisa diimplementasikan di seluruh pasar,” jelas Kadis Perindag Madina.

Tak hanya itu, Disperindag berharap instansi lain turut berperan aktif seperti penegakan perda oleh Satpol PP, dan sosialisasi dari anggota DPRD kepada masyarakat dan pedagang. “Kalau peraturan itu tegak, tentu capaian PAD akan maksimal,” tutup Parlin. (RSL)

Mungkin Anda Menyukai