Batahan (HayuaraNet) – Tragis. Barangkali kata tersebut bisa mewakili nasib yang menimpa masyarakat Batahan, di Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) di tengah-tengah kepungan perusahaan raksasa yang terus menikmati hasil dari kebun sawit di wilayah itu.
Pasalnya, hak-hak masyarakat tak terpenuhi dengan baik, mulai dari dugaan manipulasi dokumen pengesahan pembangunan kebun sawit sampai plasma yang belum terealisasi sebagai kewajiban perusahaan.
Salah satu contoh adalah kehadiran PTPN IV yang berhasil take over lahan dari PT Agro Andalas Nusantara (AAN). Perusahaan plat merah tersebut diduga tak memiliki HGU saat mengambil alih pengelolaan tanah seluas 4.600 hektare itu.
“Saat diukur luas kebun PTPN itu sampai ke halaman kantor ini,” kata Camat Batahan Irsal Pariadi saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (06/9).
Khasruddin Lubis, salah satu warga Batahan, menerangkan awalnya masyarakat menyepekati memberikan izin kepada PT Kertam Iramindo untuk membuka lahan tersebut. Perusahaan yang hadir pada tahun 1986 ini menerima izin pembukaan lahan (IPL) dari warga untuk kemudian diusulkan kepada kementerian terkait.
Usai memperoleh izin, Kertam Iramindo mulai melakukan penumbangan kayu-kayu besar di lahan tersebut dan dijual ke PT Gruti Lestari. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Malah perusahaan itu terkesan membiarkan lahan tak dijamah selama beberapa tahun.
Kemudian, sekitar tahun 1994 terjadi take over dari Kertam Iramindo ke PT AAN. Perusahaan kedua ini melanjutkan pembukaan lahan. Proses take over itu disebut tanpa sepengetahuan masyarakat.
Usai pembersihan lahan, PT AAN kemudian mulai menanam bibit sawit. Padahal, sesuai keterangan Khasruddin, sejak awal izin untuk Kertam Iramindo yang disepakati masyarakat adalah IPL, bukan perkebunan. Lalu pertengahan tahun 2000-an take over kembali terjadi, kali ini dari AAN ke PTPN IV. Pada saat itu, ada pemberian pago-pago (uang ganti rugi) dan janji pembangunan plasma bagi masyarakat.
“Adalah waktu itu yang menerima pago-pago atau ganti rugi dan ada kesepakatan pembangunan plasma,” ujar Irsal.
Camat Batahan menerangkan, seharusnya sebelum take over ke PTPN, lahan itu dikembalikan kepada masyarakat karena adanya perbedaan izin perusahaan pertama dan yang disebutkan terakhir. Namun, hal itu tak terjadi meskipun kuat dugaan saat itu PTPN tidak memiliki izin HGU lahan tersebut.
Tak hanya persoalan HGU, perusahaan plat merah itu juga menyerobot lahan masyarakat. Ini sesuai dengan pengukuran yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), ternyata luasan lahan perusahaan milik pemerintah itu tidak sesuai dengan luasan awal.
Irsal mengaku, persolaan lahan yang terjadi di Kecamatan Batahan merupakan kesalahan bersama, baik pemerintah, masyarakat, maupun perusahaan yang hadir. Menurutnya, pemerintah dan masyarakat pada masa lampau terlalu mudah memberikan izin kepada perusahaan. Sementara, perusahaan sering menyerobot lahan warga dan tidak memenuhi kewajiban mendirikan plasma.
“Ini harus diselesaikan satu per satu. Tidak bisa sekaligus dan harus mengedepankan win-win solution. Kepada masyarakat kami harap sabar menunggu,” harapnya.
Masyarakat Batahan juga memiliki persoalan berupa sengketa lahan sawit. Akibat tak kunjung ada penyelesaian, Bupati Madina H. M. Jafar Sukhairi melalu kesepakatan bersama menstanvaskan lahan seluas kurang lebih 168 hektare pada Oktober tahun lalu. Sampai hari ini belum ada putusan lebih lanjut.
Untuk diketahui, saat ini PTPN IV baru memiliki izin HGU untuk perkebunan Batang Laping (Balap), sementara untuk kebun Timur masih tahap pengurusan. (RSL)