CATATAN REDAKSI – Masih segar dalam ingatan pertemuan dua ketua umum partai politik usai pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Saat itu Ketua Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua PDIP Megawati Soekarnoputri makan siang bersama dengan menu nasi goreng buatan putri pertama Presiden Soekarno itu. Keduanya berbicara dengan akrab dan dalam suasana yang hangat. Pertemuan itu kemudian dikenal dengan istilah Politik Nasi Goreng.
Usai pertemuan itu, Prabowo yang notabene lawan PDIP pada Pilpres terpilih sebagai Menteri Pertahanan Indonesia. Banyak yang menyebut ketum Gerindra itu telah berkhianat kepada pendukungnya. Apalagi Prabowo sempat berucap akan timbul tenggelam bersama rakyat. Namun, pilihan mantan KSAD merapat ke pemerintah bukan tanpa alasan kuat. Pasalnya, selama Pilpres terjadi polarisasi pemilih dan ruang publik begitu gaduh.
“Saya bilang pada beliau, Mas, saya panggil beliau itu Mas dari dulu, sebenarnya, kan, kalau kita berbeda pendapat itu adalah sebuah ruang yang biasa, kenapa harus diterus-teruskan. Mari kita rukun kembali menjalin persahabatan kita untuk kepentingan bangsa dan negara,” kata Megawati saat itu.
Pertemuan dua pimpinan partai politik selalu menimbulkan beragam penafsiran. Pertemuan Ketum Golkar Airlangga Hartarto dengan Ketum Nasdem Surya Paloh beberapa waktu lalu dipandang masyarakat sebagai bentuk upaya membangun koalisi. Saat itu Golkar dengan KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) belum menentukan calon presiden, sementara Nasdem telah memutuskan mengusung Anies Rasyid Baswedan. Usai pertemuan keduanya muncul isu ada koalisi besar.
Nah, pertemuan dua pimpinan parpol selalu menarik untuk dikaji sebab bagaimana pun juga parpol masih menjadi salah satu penentu utama jalannya pemerintahan. Kamis malam (04/05) pertemuan Ketua DPW PKB Sumut yang juga Bupati Madina H. M. Jafar Sukhairi Nasution dengan Ketua DPC PPP Madina Muhammad Irwansyah Lubis menimbulkan pertanyaan bagi beberapa kalangan.
Pasalnya, Irwansyah termasuk ketua partai yang vokal menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Sukhairi-Atika. Belakangan penundaan pemilihan kepala desa (pilkades) menjadi consern alumni Fakultas Hukum Universitas Medan Area itu. Beberapa kali dia menyampaikan desakan agar pemerintahan membuka ruang untuk pelaksanaan pilkades.
Pertemuan yang terjadi di warung pocal dengan menu pecal pakai toping rempeyek itu memunculkan beragam persepsi. Wajar saja, mengingat tahun ini tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai. Baik Sukhairi maupun Irwansyah punya masing-masing target dalam Pileg mendatang. PKB menargetkan 12 kadernya bisa duduk di DPRD Madina, sementara PPP minimal terbentuk fraksi murni. Saat ini PKB punya empat kursi dan PPP dua kursi.
Sukhairi dan Irwansyah sejatinya sudah kenal lama dalam dunia politik. Sebelumnya, mereka pernah sama-sama duduk sebagai wakil rakyat dan tergabung dalam komisi yang sama. Maka dari itu, pertemuan yang katanya tak sengaja itu menuai perhatian. Tentu, bagi yang mengerti dunia politik pasti paham adagium “Dalam dunia politik tidak ada yang kebetulan”.
Apalagi sebelum pertemuan yang memunculkan frasa Politik Peyek itu, Sukhairi dan Irwansyah beberapa kali bertemu. Usai pertemuan tak terlihat perubahan sikap Irwansyah terhadap pemerintahan Sukhairi-Atika. Meskipun beberapa kali menyampaikan apresiasi, tapi tetap dibarengi kritik ketika kebijakan pemerintah dia pandang salah.
Irwansyah Lubis yang dihubungi Jumat malam (05/05) terkait pertemuan itu menyebut hanya bincang-bincang biasa.
“Hanya bincang-bincang biasa,” katanya singkat.
Meskipun terkesan negasi bagi interpretasi yang muncul, jawaban singkat itu seolah membenarkan bahwa ada sesuatu yang mereka bicarakan dan itu tidak boleh diketahui publik. Di tengah tahun politik dengan masing-masing target, pertemuan tak biasa dua ketua partai itu rasanya mustahil kalau hanya bincang-bincang biasa. Apalagi, sebelumnya Ketua Hanura Madina H. Fahrizal Efendi pernah mengajak ketua-ketua partai di Madina untuk duduk bersama membahas rangkaian kejadian dan isu strategis.
Entah apa sebenarnya yang diperbincangkan oleh ketua PKB Sumut dengan ketua DPC PPP Madina itu. Yang pasti, tahun depan keduanya punya target kemenangan sebelum menentukan dukungan politik dalam mengusung calon kepala daerah. Dengan rekam jejak keduanya, bukan tak mungkin Sukhairi akan kembali maju sebagai calon bupati dan PPP berada di belakangnya sebagai partai pengusung. Boleh jadi juga ketika target tercapai, keduanya yang justru maju bersama sebagai calon bupati dan wakil bupati.
Merujuk pada kalimat yang sering disampaikan Fahrizal Efendi, setiap politisi yang berniat membangun daerahnya pasti punya mimpi untuk duduk sebagai kepala atau wakil kepala daerah. Maka, asumsi tersebut bukan suatu yang tabu. Entahlah, yang pasti apa pun isi pembicaraan keduanya telah memunculkan satu frasa, yakni Politik Peyek. (*)