KPPS di Madina: Tenaga Diperas, Anggaran Ditilap, Uang Makan Disantap

Panyabungan (HayuaraNet) – Nasib KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, bisa dibilang tragis. Bagaimana tidak, pada hari pencoblosan, Rabu (14/02) mereka telah hadir di TPS (Tempat Pemungutan Suara) sejak pukul 06.00 WIB.

Sejatinya, TPS baru dibuka pukul 07.30 WIB, tapi sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan pemungutan suara, mereka harus menyiapkan TPS dan mengecek segala kebutuhan sehingga nantinya tidak terjadi kendala berarti. Maka dari itu tak mengherankan banyak dari mereka telah bersiap sejak pagi-pagi buta.

Setelah disumpah dan TPS resmi dibuka, praktis anggota KPPS tak punya waktu istirahat kecuali saat jeda makan siang. Itu pun paling lama hanya dua jam. Dengan tekanan psikis dan pekerjaan yang intens selama delapan jam sebelum istirahat, bisa dibayangkan kelelahan yang mereka hadapi.

Masa-masa krusial belum sepenuhnya terlewati. Usai istirahat, anggota KPPS kembali dihadapkan pada pekerjaan runtut nan padat, yakni penghitungan dan rekapitulasi suara. Di banyak TPS yang tersebar di Kecamatan Panyabungan, Panyabungan Barat, Panyabungan Timur, dan Hutabargot penghitungan suara baru selesai menjelang subuh atau sekitar pukul 04.00 WIB. Bahkan di TPS 03 Kelurahan Longat, penghitungan suara untuk calon anggota legislatif tingkat DPRD kabupaten baru dimulai beberapa menit sebelum azan Subuh bergema.

Artinya, banyak anggota KPPS yang bekerja 24 jam dengan jeda hanya sekitar dua jam. Itu belum termasuk pengantaran surat suara ke masing-masing PPS untuk kemudian dilanjutkan penghitungan di tingkat kecamatan. Padat, intens, dan penuh tekanan, serta tenaga yang diperas untuk memastikan pekerjaan tunai adalah gambaran perjuangan anggota KPPS menyukseskan Pemilu 2024. Tekanan itu berupa keharusan menjalankan tugas dengan paripurna, sebab kesalahan kecil sekalipun bisa berbuntut panjang.

Dengan semua kondisi itu masih ada yang tega memakan hak mereka. Misalnya, uang konsumsi sebesar Rp882 ribu yang diposkan pada DIPA Satker KPU ternyata banyak yang tidak tersalurkan sampai ke tingkat KPPS. Beberapa di antara mereka yang dikonfirmasi mengaku tak tahu ada anggaran konsumsi itu. Untuk biaya makan selama pemungutan dan penghitungan suara terpaksa diambil dari biaya operasional yang sejatinya dibelanjakan untuk ATK, pembuatan TPS, dan sewa printer/penggandaan.

Tak hanya itu, biaya operasional yang sejatinya berjumlah Rp3,5 juta banyak dipotong oleh PPS dengan berbagai dalih. Akibatnya, jumlah yang diterima oleh KPPS bervariasi sesuai ‘kebaikan hati’ PPS setempat. Ada yang menerima Rp3 juta, Rp2,8 juta, Rp1,7 dan bahkan ada yang sama sekali tidak menerima uang tersebut. Umumnya, dalih yang dipakai adalah biaya pembuatan SPJ dipatok Rp500 ribu dan belanja papan informasi.

Sesuai dengan surat Alokasi Anggaran, Penyaluran Kebutuhan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS yang dikeluarkan KPU per 08 Februari 2024 dan ditandatangani Plt. Sekretaris KPU Zulham, biaya ATK sebesar Rp1 juta, pembuatan TPS Rp2 juta, dan sewa printer/penggandaan Rp500 ribu. Tidak ada potongan untuk pembuatan SPJ. Satu-satunya pemotongan adalah pajak yang harus dibayar sesuai ketentuan yang berlaku.

Di sisi lain, ada pula ketua KPPS yang tega melakukan manipulasi anggaran hanya untuk memuaskan hasrat pribadi. Tidak ada transparansi pemakaian uang negara itu. Padahal, jika dihitung secara kasar pengeluaran biaya operasional itu termasuk minim. Dari pantauan di beberapa TPS, anggaran pembuatan TPS hanya terlihat untuk pengadaan papan informasi. Harganya tak lebih dari Rp500 ribu ditambah tali plastik sekitar tiga gulung untuk pengikat tenda yang kebanyakan dipinjam dari pihak lain.

Sama halnya dengan gaji, anggota KPPS yang mendapat pemotongan hanya mereka ASN, baik PNS maupun PPPK. Ternyata ditemukan ada PPS yang berniat melakukan pemotongan sebesar 6 persen dari setiap anggota KPPS. Namun, pemotongan urung terjadi karena banyak anggota KPPS yang protes dan meminta dasar hukum pemotongan.

Maraknya tindakan pungutan liar ini seolah dibiarkan begitu saja oleh KPU setempat. Muhammad Ikhsan Matondang, ketua KPU Madina, hanya menyampaikan arahan agar tidak dilakukan pemotongan setelah mendapatkan informasi dari media bahwa ada indikasi pungli yang dilakukan salah satu PPS di Kecamatan Panyabungan. Tidak ada tindakan evaluasi, selain imbauan semata.

Hal ini selaras dengan kejadian di Kecamatan Sinunukan. Beberapa anggota PPS menceritakan bahwa PPK setempat meminta jatah 50 persen biaya ATK PPS per bulan. Kabarnya, KPU telah memanggil PPK Sinunukan, tetapi tidak jelas tindakan yang diambil, termasuk ada tidaknya keharusan mengembalikan dana yang ditilap.

Kembali ke KPPS, tahun 2019 lalu tak kurang dari 894 petugas meninggal dunia, kebanyakan karena kelelahan. Dengan pentingnya peran dan runtutnya tugas yang mereka jalani seharusnya anggaran mereka benar-benar dijaga agar tersalurkan dengan baik tanpa ada pemotongan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. (RSL)

Mungkin Anda Menyukai