OPINI – KEWAJIBAN plasma 20% harus dipahami berakar pada konstitusi yang mengatur bahwa bumi, air, dan udara dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara menguasai, mengandung makna mengatur peruntukan dan penggunaan tiap-tiap jengkal dari bumi, air, dan udara. Apabila disebut tanah negara, maka yang dimaksud ialah tanah yang dikuasai langsung oleh negara oleh karena padanya belum ada atau belum terdaftar satu hak apa pun.
Tanah yang padanya objek HGU seharusnya tidak semuanya serta-merta termasuk dalam obyek tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Jika objek HGU perusahaan di Singkuang I, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, berada pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara, maka sungguh terlalu jika negara tidak berdaya memaksa perusahaan patuh pada kewajiban pemenuhan plasma kepada masyarakat setempat tanpa syarat.
Sebab ketidakberdayaan demikian menempatkan kuasa negara terjerembab ke titik nadir, gagal menjalankan fungsi menguasai bumi, air, dan udara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahkan gagal menegakkan kedaulatan dirinya sendiri.
Bagaimana jika objek HGU Pete tersebut sejak semula adalah tanah ulayat masyarakat setempat turun-temurun? Jika demikian keadaannya, maka HGU tersebut seharusnya didasarkan pada pemberian hak oleh masyarakat setempat dahulunya kepada investor atas dasar perjanjian tertentu. Dalam kaitan ini plasma 20% yang ditunda-tunda belasan tahun menjadi bukan sekadar ketidakpatuhan investor terhadap undang-undang dalam rumpun administrasi terkait perkebunan, tetapi juga menyangkut wanprestasi dimaksud dalam hukum perdata.
Lebih jauh bisa pula merengsek ke pemberian HGU sekiranya objek HGU itu ada pada tanah ulayat yang pemberiannya tidak melibatkan masyarakat setempat. Di sini ada hak konstitusional masyarakat setempat untuk menggugat HGU itu sendiri berhadapan langsung dengan kuasa negara yang nyata berada pada titik nadir dalam konteks ini.
Artinya urusan bakal panjang dan yang paling dirugikan adalah masyarakat itu sendiri, rakyat Indonesia yang sejatinya wajib dilindungi segenap tumpah darahnya, dan wajib disejahterakan kehidupannya. Tidak kalah pula ruginya penguasa lokal sebagai organ pemerintahan terendah, jika -sekali lagi- masalah Plasma yang tertunda belasan tahun ini berlanjut.
Di sinilah tidak bernilainya main retorika apalagi bumbu amarah. Plasma yang ditunda belasan tahun ini, rakyat salat Tarawih, dan tadarusan di pelataran perusahaan demi memperjuangkan haknya di Singkuang I adalah gelombang perjuangan keadilan agraris yang konstitusional. Gelombang ini dapat disusul gelombang serupa di tempat yang seakar dan sesejarah hingga berubah menjadi badai yang dahsyatnya tidak bisa diprediksi.
Maka selesaikanlah secepat-cepatnya, sesingkat-singkatnya, setuntas-tuntasnya wahai yang dipundak kalian sumpah untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945, untuk mengelola pemerintahan dengan sebaik-baiknya. (*)
Penulis: Amir Mahmud Lubis, MH
Praktisi Hukum