Puncak Sorik Marapi (HayuaraNet) – Keselamatan warga dan lingkungan harus lebih penting daripada keberadaan investasi sebagaimana diatur dalam undang-undang perizinan. Selain itu, kehadiran PT SMGP (Sorik Marapi Geothermal Power) harus memenuhi regulasi dan Undang-Undang No 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Demikian disampaikan oleh anggota Komisi D DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut) H. Fahrizal Efendi Nasution saat pertemuan dengan masyarakat dan pihak perusahaan di basecamp PT SMGP, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, Jumat (14/10).
“Kami sadar kehadiran PT SMGP begitu bermanfaat untuk penerangan negara ini, tapi di sisi lain kami tidak mau masyarakat menjadi korban. Manfaat kehadiran PT SMGP tidak bisa dijadikan pembenaran atas kejadian yang mengancam keselamatan warga Sibanggor,” kata legislator daerah pemilihan Sumut 7 ini.
Lebih lanjut, Fahrizal menerangkan persyaratan pertama perizinan PLTP sesuai undang-undang adalah bisa menjamin keselamatan terhadap masyarakat. “Dilihat dari segi undang-undang dan persyaratan, negara memastikan lebih penting kesehatan dan keselamatan lingkungan,” jelasnya.
Pria bergelar Sutan Kumala Bongsu Lenggang Alam ini memaparkan runtunan kejadian yang mengancam nyawa masyarakat sekitar perusahaan sejak tahun 2014 sampai September 2022. “Kematian 2 anak yang tenggelam di kolam well pad itu juga merupakan kelalaian perusahaan yang tidak memagar kolam di lingkungan perusahaan,” terangnya.
Mantan pimpinan DPRD Madina ini pun mengaku heran dengan kejadian yang terus berulang tersebut, terlebih dalam kejadian terakhir belum diketahui penyebabnya. “Saya rasa kalau masih ada kegiatan serupa, Pak Teri dan karyawan perusahaan dulu di lokasi warga dan sekitar sumur. Warga kita evakuasi ke tempat yang jauh sehingga diketahui penyebab warga harus dilarikan ke rumah sakit,” tegasnya.
Politisi Partai Hanura ini menekankan agar penghentian pengeboran dan konstruksi PT SMGP tidak perlu dijadikan polemik yang bisa menimbulkan persepsi yang salah di tengah masyarakat. “Kita paham pelaku-pelaku usaha sebagai mitra kerja perusahaan sedikit terganggu dengan penghentian aktivitas dimaksud , tapi kita harus mendukung upaya pemerintah dalam hal ini EBTKE melakukan evaluasi,” tegasnya.
Fahrizal mengungkapkan kejadian yang mengancam keselamatan masyarakat Sibanggor terus menjadi perhatiannya. Bahkan pihaknya pernah memanggil Wadireskrim rapat dengar pendapat usai kejadian 25 Januari 2021 yang menewaskan lima warga.
“Saat itu saya mendesak Wadireskrim untuk menetapkan tersangka karena dari aspek hukum itu sudah termasuk kelalaian dan tadi sudah diakui Pak Teri. Wadireskrim pun berjanji akan ada tersangka apabila ada rekomendasi EBTKE yang menyatakan H2S keluar dari aktivitas perusahaan saat itu,” ungkap lulusan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan ini.
Fahrizal menuturkan, sesuai undang-undang semestinya evaluasi dilakukan Dirjen EBTKE pada saat kejadian pertama hanya dalam 6 bulan kerja. “Merekah harus mengeluarkan rekomendasi dan hasil investigasi, tapi sampai hari ini kami belum melihat secara resmi apa hasil temuan EBTKE,” sebutnya.
Terkait gugatan hukum yang dilakukan masyarakat terhadap perusahaan menurutnya adalah hal yang diperbolehkan dalam undang-undang. “Ketika ada yang menggugat SMGP ke pengadilan dan ternyata diputuskan perusahaan bersalah atas kerusakan lingkungan dan penyebab matinya warga Sibanggor, maka menteri harus menjadikan itu sebagai dasar pencabutan izin,” tutupnya.
Kedatangan rombongan dari DPRD Sumut ini untuk mengumpulkan fakta-fakta terkait rentetan kejadian dugaan kebocoran gas beracun di wilayah kerja PT SMGP. Kesimpulan rapat ini nantinya akan disampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (RSL)