Jakarta (HayuaraNet) – Jelang pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus menuai sorotan dari publik karena dianggap penuh kontroversi dan kurang kajian. Di samping itu, ada juga ketentuan yang berkaitan dengan penyempitan ruang kebebasan sipil, RKUHP menjadikan demontrasi tanpa izin sebagai delik pidana.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Bayu Satria Utomo turut angkat bicara. Dia menilai ada banyak pasal bermasalah yang berpotensi merugikan masyarakat.
“Kami menemukan lebih dari 48 pasal bermasalah. Empat puluh delapan pasal ini bisa merugikan rakyat karena banyak hal,” katanya.
Bayu menilai, wajar kalau kemudian Aliansi Nasional Reformasi KUHP menerbitkan buku berjudul “RKUHP: Panduan Mudah #TibaTibaDipenjara” saat Aksi Kamisan ke-755, di Taman Pandang Istana pada Kamis minggu lalu.
Dia meyakini, RKUHP yang tinggal disahkan tersebut akan merugikan rakyat karena merampas hak untuk membela diri sendiri.
“RKUHP bisa merugikan rakyat karena hanya akan berlaku untuk masyarakat kecil. Belum pernah ada pejabat negara aktif dipidana menggunakan KUHP, selama ini mereka dipidana hanya dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” tutupnya.
Hal senada disampaikan Pengamat kebijakan publik Gigin Praginanto. Dia menilai di tengah perkembangan demokrasi di Indonesia kehadiran RKUHP akan menyebabkan meningkatnya kriminalisasi terhadap kelompok kritis.
“Sementara ini demokrasi dibiarkan berkembang. Setelah RKUHP yang diusulkan pemerintah disahkan oleh DPR, kriminalasasi terhadap kaum kritis akan menggila,” tuturnya, Senin (5/12).
Sementara itu Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Nugraha mengatakan ada 6 isu krusial ‘masih bermasalah’ dalam draf RKUHP. Pertama, pasal penghinaan presiden, lembaga negara dan pemerintah.
Kedua, pasal yang mengatur pawai dan unjuk rasa. Bagi Aliansi, kata Nugraha, pasal tersebut merugikan rakyat karena menutup ruang publik dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Ketiga, pasal tentang tindak pidana korupsi. Pengaturan pasal tindak pidana korupsi dalam draf RKUHP dipandang berpihak terhadap penguasa. Sebab, sanksi pidana hukuman badan atau penjara serta denda bagi pelaku tindak pidana korupsi diturunkan.
Keempat, pasal pencemaran dan perusakan lingkungan. Pasal tersebut dinilai menyulitkan pembuktian karena ketiadaan pengaturan yang jelas mengenai derajat kerusakan lingkungan.
Kelima, pasal tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila. Menurutnya, frasa ‘yang bertentangan dengan Pancasila’ sangat berbahaya karena tidak ada parameter yang jelas dalam menilai seseorang bertentangan atau sejalan dengan Pancasila.
Keenam, pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat yang semula menjadi tindak pidana khusus, melalui RKUHP diubah menjadi tindak pidana umum.
Patut diketahui, rencananya RKUHP akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rencanya pada besok, Selasa (6/12). (RSL)