Idulfitri: Merawat Memori di Belantara Globalisasi

OPINI – Alunan takbir, tahmid, dan tahlil menggema pada Selasa malam, 10 April 2024, sebagai pertanda purna sudah Ramadan. Fajar Syawal akan segera menyongsong menandakan Hari Kemenangan telah tiba. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd bersahutan di seluruh semesta. Syiar keagungan Allah sebagai bentuk rasa sykur hamba atas pengampunan bergemuruh. Beragam cara digunakan untuk menggemakan keesaan-Nya, mulai dari pawai obor sampai pawai kendaraan besar seperti truk. Lantunan takbir itu pun mendorong anak-anak berlarian ke sumber suara. Berdiri di pinggir jalan protokol sembari mengikuti gema takbir yang berkumandang dari berbagai arah dan tempat. Kegembiraan terlihat paripurna.

Mereka, para orang tua, sibuk menakar zakat fitrah sebagai penggenap ibadah puasa. Lalu lalang manusia di jalan-jalan menuju masjid dan gang-gang kecil tempat mereka yang papa terlihat ramai. Kemenangan ini milik semua. Kebahagiaan dibagi bersama. Kaya dan papa tak jadi pembeda karena ini adalah Idulfitri. Anak-anak yang rutin belajar mengaji usai Magrib berduyun-duyun menuju rumah sang guru. Beruntung ada satu dua anak yang tak hanya membawa zakat fitrah, tapi juga kain sarung pertanda terima kasih.

Jauh di lubuk hati, ada kesejukan yang telah lama kurindukan di tengah gema takbir malam ini. Getaran yang tak biasa. Dalam sekejap, serasa semua suara tiba-tiba hilang. Sunyi senyap. Dalam kesunyian itu kenangan malam takbiran di masa lampau memenuhi sanubari. Kenangan terhadap ayah dan ibu membuncah. Gema takbir seolah menyayat hati di tengah kerinduan kepada almarhum ayah dan almarhumah ibu. Dulu, di malam seperti ini ayah mengumpulkan kami, anak-anaknya. Bercerita pahit getir hidup yang telah dia lalui. Kudapan sisa buka puasa, kue-kue kering, alame, dan lemang terhidang di tengah-tengah kami. Seolah menggambarkan sedu sedan dan riang gembira kehidupan yang mereka jalani. Sekali dua kali kami melempar canda. Kenangan manis itu perlahan membuat hati berkecamuk, sekuat hati hendak menahan, tapi air mata tak terbendung. Aek ni mata manetek sada madabu dua, seperti lirik lagu Janjitai yang dipopulerkan almarhumah Mariati Lubis.

Kenangan-kenangan menyambut lebaran di masa lampau memenuhi kepala. Sekali dua kali saya teguk air putih untuk memberi ruang kesejukan bagi hati yang berkecamuk. Duduk di teras lantai dua rumah mertua menambah sunyinya hati di tengah keramaian malam ini. Pemandangan di depan melihat anak-anak berlarian di halaman masjid yang letaknya tepat di depan rumah ini. Beberapa di antara mereka turut menggemakan takbir. Ingatan kembali kepada ayah yang dulu mengajari anak-anak di lingkungannya banyak hal, termasuk membimbing mereka mengumandangkan takbir. Membesarkan hari raya umat Islam. Pada malam seperti ini, ibu sibuk di dapur dengan saudara perempuan. Menyiapkan hidangan untuk esok pagi. Benar sudah adagiaum bahwa rindu yang paling menyakitkan adalah merindukan mereka yang telah tiada. Allahummaghfirlahum warhamhum waafihum wafuanhum.

Semakin berusaha mengabaikan ingatan itu, semakin terang dalam bayangan. 1 Syawal kami tandai dengan kesibukan sebelum azan Subuh bergema. Setengah jam sebelum salat subuh, kami telah bangun dan mengenakan pakaian terbaik. Baju baru menjadi pilihan utama. Ayah yang paling sibuk memastikan kami bangun tepat waktu agar Subuh tak terlewat. Sekitar pukul 06.30 WIB, ayah dan ibu duduk di depan sedangkan kami, anak-anaknya berbaris memanjang ke belakang. Inilah kenangan paling menyayat hati, duduk bersimpuh dan memeluk mereka sembari mengucapkan permohonan maaf. Pesan ayah memang demikian, sebelum bermaafan dengan sanak saudara hendaknya lebih dulu satu keluarga itu bermaafan.

Usai itu, ayah akan menuntun kami menuju kediaman allahuyarham Syekh Muhammad Yakub bin Syekh Abdul Qadir Al Mandili di Kampung Bargot, Panyabungan. Rumah yang dijadikan majelis pengajian ini tumpah ruah oleh masyarakat sekitar. Tua, muda, anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berkumpul untuk melaksanakan salat Id. Sederhana dan khidmat. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh ayah sebagai salah satu murid yang dekat dengan Syekh Yakub. Terekam jelas dalam satu waktu ayah sesenggukan saat membacakan doa usai salat Id. Entah apa yang membuat ayah sedu sedan seperti itu, boleh jadi kenangan akan guru-gurunya menghampiri. Namun, tradisi itu berakhir selaras dengan berpulangnya ayah ke rahmatullah.

Idulfitri bukan semata cerita mudik dan beragam capaian saat reuni dengan kawan satu kelas. Bukan pula sebatas momen menyantap makanan enak seperti rendang, sup iga, ikan bakar, lontong, atau kue-kue kering semisal nastar, putri salju, atau brownis. Terlalu sederhana kalau sekadar memeriahkan dengan tren warna terkini. Tahun lalu sage, kini biru muda selayaknya warna kebanggaan Prabowo-Gibran saat kampanye pilpres beberapa waktu lalu. Apalagi hanya sebatas menjaga eksistensi di media sosial dengan rajin membalasa komentar, foto, atau video ucapan rekan sejawat. Idulfitri jauh dari itu. Ada kenangan yang membekas. Kerinduan kepada mereka yang hanya bisa diziarahi dan dikirimkan doa. Kenangan yang akan abadi, melintasi zaman canggih revolusi 4.0 atau belantara Society 5.0.

Dalam sunyi malam menjelang fajar Syawal, ada kerinduan yang kupeluk erat. Sepertinya hanya detak jarum jam dinding yang paham apa yang yang sedang kupendam. Meski demikian, ingatan itu tetap meninggalkan kebahagiaan. Memberikan motivasi dan semangat baru dalam menemukan makna Idulfitri yang sesungguhnya. Menggenapi ibadah Ramadan dengan membayarkan zakat fitrah serta membuka hati seluas-luasnya untuk memberi dan meminta maaf kepada sesama.

Perayaan Idulfitri menghadirkan kenangan dan romantisme berbeda dalam setiap keluarga. Hari besar umat Islam yang penuh pengampunan dan kemenangan. Perjuangan melawan nafsu dan syahwat akan menyisakan cerita inspiratif yang bisa menjadi uswatun hasanah serta muhasabah bagi generasi muda kiwari. Idulfitri dengan segala kebahagiaan, suka cita, dan kegembiraan di dalamnya harus dirayakan dengan kesederhanaan semata-mata untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Menghidupkan kenangan Idulfitri bersama mereka, orang-orang yang kita sayang, yang telah menghadap sang Pencipta akan memberikan dorongan dan motivasi baru. Ada manfaat yang tak bisa diutarakan dalam membangkitkan kenangan dan kerinduan itu. Nostalgia itu harus tetap dipelihara meski zaman telah berganti. Globalisasi boleh jadi mengubah gaya dan tradisi kehidupan, tapi kenangan tak boleh hilang. Biarkan ia tetap terpatri di sanubaru sehingga kelak bisa tetap dikunjungi. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamdu.

Penulis: Mukhtar Nasution
ASN pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Madina.

Mungkin Anda Menyukai