Saya sebelas tahun menjadi honorer. Jadi, cukup paham betul dengan situasi yang dihadapi honorer saat ini, terlebih menjelang idulfitri. Bayangan lebaran dengan kondisi tak beruang sangat nyata. Itu belum dihitung rekan-rekan yang saban hari mulai bertanya kapan uang pinjaman dikembalikan. Apalagi ekspektasi keluarga terhadap mereka yang memakai baju “dinas” ini sangat tinggi.
Situasi honorer memang tak pernah menjadi prioritas di Mandailing Natal. Saban waktu, pekerja honor ini selalu dianaktirikan meski untuk urusan kerja mereka dianakemaskan. Paradoks yang pilu. Tak dibayarnya gaji honorer dalam beberapa bulan terakhir semakin memantapkan adagium itu. Buktinya, tidak ada yang berbicara, termasuk wakil rakyat.
Menjadi honorer adalah dilema antara ketiadaan pekerjaan dengan gaji kecil dan sering dibayar terlambat.
Bayangkan, di awal tahun Anda diputus kontrak, lalu tak ada kepastian kapan dipekerjakan kembali. Kemudian ada yang dipanggil dan ada yang diputus selamanya tanpa tedeng aling-aling. Tanpa penjelasan kenapa Anda dirumahkan untuk seterusnya, sementara rekan Anda kembali dipekerjakan.
Mereka yang dirumahkan linglung dengan kenyataan mencari pekerjaan begitu sulit di tengah hiruk-pikuk para pejabat dan politisi berbicara lapangan pekerjaan yang mudah. Lalu, mereka yang kembali dipekerjakan seperti sedia kala, gajinya terkatung-katung.
Ah, sudahlah. Kata salah satu kawan saya membicarakan negara membuat perut mual dan pusing kepala. Saya sependapat, tapi membicarakan hak orang lain semestinya satu keharusan sebagai manusia. Pembuat kebijakan lihatlah barang satu atau dua menit kepada mereka yang gajinya kautahan. Ada anak-anak yang baju lebarannya belum terbeli atau wajah pilu para istri mereka membayangkan uang untuk membeli lauk lebaran.