H-2 Pemilu: yang Netral Jangan Sampai Terjebak

CATATAN REDAKSI – Dua hari menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) 2024 hampir tak terlihat lagi alat peraga kampanye yang sebelumnya menghiasi titik-titik tertentu. Sesuai tahapan pemilu yang dikeluarkan KPU, masa kampanye telah berakhir pada 10 Februari 2024 lalu. Memasuki masa tenang ada hal lain yang perlu pengawasan semua pihak, yakni memastikan mereka yang netral tidak ikut-ikutan kampanye gelap.

Fenomena pejabat pemerintah atau ASN (Aparatur Sipil Negara) terpaksa ikut kampanye karena perintah atasan sudah menjadi rahasia umum. Hal ini hampir terjadi dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi. Untuk tahun 2019, berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu, ada sekitar 1.096 pelanggaran hukum terkait netralitas ASN, TNI, dan Polri. Sesuai data yang dirilis BKN, bahwa 99,5 persen pelanggar netralitas ASN berstatus pegawai daerah yang meliputi provinsi, kabupaten/kota dengan jumlah 990 kasus.

Melihat fakta itu, hal serupa diduga sudah terjadi di Mandailing Natal untuk tahun ini. Dari hasil investigasi di beberapa wilayah, ditemukan beberapa ASN, utamanya camat, mengarahkan untuk memilih dan memenangkan calon legislatif tertentu. Bahkan ada yang langsung turun menjumpai masyarakat. Bukan hanya ASN, pendamping desa dan pendamping PKH (Program Keluarga Harapan) pun tak luput dari keterlibatan langsung dalam upaya memenangkan calon legislatif tertentu. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Mandailing Natal, tapi juga di beberapa daerah.

Ada pendamping desa yang secara terang-terangan turut aktif dalam mengampanyekan calon legislatif tertentu. Keterlibatan itu berupa postingan, baik di media sosial maupun di story WhatsApp. Fenomena ini sejalan dengan langkah anggota DPR RI Djenri Alting Keintjem yang mempertanyakan netralitas perangkat desa dalam Pemilihan Presiden Pilpres 2024. Politisi PDIP itu menemukan bukti kuat berupa pengakuan langsung dari pendamping desa.

“Saya ada bukti, kalau bapak perlu saya tunjukkan, orang yang tidak sejalan dengan partai atau calon presiden itu dikeluarkan dari grup tersebut,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, (28/11/23) lalu.

Pun dengan pendamping PKH. Misalnya, baru-baru ini di Mandailing Natal menjadi sorotan karena ada indikasi para pendamping desa mengintimidasi peserta agar memilih caleg tertentu, baik untuk tingkat DPR RI, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten. Dari pengakuan warga, intimidasi itu berupa ancaman dikeluarkan dari peserta PKH. Terkait ini, salah seorang mantan pendamping desa menjelaskan tidak ada kewenangan pendamping mengeluarkan seseorang sebagi peserta. Namun, dia tidak memungkiri kalimat-kalimat intimidasi pasti akan memengaruhi masyarakat penerima.

Kekhawatiran akan ketidaknetralan ini juga telah menjadi sorotan Indonesia Youth Epicentrum (IYE) saat mengikuti Konsolidasi Nasional Pemantau Pemilu 2024 tanggal 28-30 Desember 2023 di Jakarta. Kordinator Pemantau IYE Wadih Al Rasyid berharap BAWASLU RI, Kemenpan RB,Kementerian Desa, serta TNI/POLRI untuk menjaga netralitas pihak-pihak yang diatur dalam Pasal 280 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Tak hanya pendamping desa dan pendamping PKH, penyelenggara pun tak luput dari perhatian untuk menyelenggarakan pemilu yang jurdil. Pengerahan PPK, KPPS, atau PPS bukan tak mungkin terjadi. Hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum dan terjadi hampir di seluruh negara yang menganut demokrasi. Pun dengan Bawaslu. Ketimpangan pengawasan akrab terjadi. Contoh terkini adalah penurunan alat peraga kampanye (APK). Di Kota Panyabungan masih terlihat beberapa baliho yang terpampang meskipun telah masuk hari kedua masa tenang.

Pada pertengahan Desember 2023 lalu, komisioner Bawaslu Madina telah menyatakan bahwa pemasangan APK di mobil angkutan umum yang berplat kuning tidak diperbolehkan karena kenderaan itu merupakan fasilitas umum. Namun, sejak pernyataan itu keluar sampai hari ini masih terlihat APK yang tertempel. Entah pernah dilakukan penertiban atau justru sengaja dibiarkan hanya Bawaslu yang paham.

Kemungkinan penyelenggara dan pengawas terlibat terbuka lebar. Sebagaimana temuan yang ditayangkan dalam film dokumenter Dirty Vote, komisioner KPU pusat terlihat berafiliasi dengan organisasi dan partai tertentu. Pun dalam proses perekrutan di tingkat daerah. Baik PPK maupun Panwascam dapat dipastikan lebih dari 50 persen penyelenggara yang terpilih terafiliasi dengan organisasi tertentu.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian bersama adalah praktek politik uang. Masa tenang ini sering digunakan untuk memuluskan tindakan yang menodai demokrasi ini. Serangan fajar, demikian istilah yang dipakai masyarakat. Penyaluran uang dari calon kepada konstituen memang kerap terjadi menjelang pencoblosan. Bahkan tak jarang terdengar pendistribusiannya di pagi hari atau beberapa jam sebelum TPS dibuka.

Untuk melahirkan pemilu berintegritas, pihak-pihak yang diharuskan undang-undang atau peraturan netral harus dibiarkan tetap seperti itu. Tak perlu ada upaya pengerahan apalagi perintah untuk memenangkan calon tertentu, baik itu presiden maupun calon anggota legislatif. (*)

Mungkin Anda Menyukai