Akar Hayuara – Tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea 4 salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. Dalam mencapai amanah itu salah satu kebijakan pemerintah adalah menganggarkan dana desa. Kebijakan ini tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2014.
Namun, sejak pertama kali dukucurkan pada tahun 2015 sampai hari ini ternyata hasilnya jauh dari kata memuaskan. Setidaknya demikian untuk wilayah Mandailing Natal (Madina).
Alih-alih menyejahterakan masyarakat desa, dana desa yang jumlahnya sekitar 800-an juta per tahun itu malah menjadi kesempatan bagi berbagai pihak untuk mengambil keuntungan pribadi. Mulai dari oknum pemerintah setempat, instasi penegak hukum, pendamping desa, LSM, organisasi mahasiswa, wartawan, dan personal masyarakat atau tokoh.
Pihak-pihak yang menggerogoti dana desa ini memainkan berbagai macam program yang sebenarnya tidak urgen bagi masyarakat maupun kepala desa. Program tersebut antara lain bimbingan teknis, pengadaan bibit, dan pembelian item tertentu.
“Tidak kita pungkiri kepentingan-kepentingan yang harus diakomodir oleh kepala desa. Isi bimtek itu semua sama. Itu diulang-ulang tiap tahun,” kata salah seorang kepala desa yang dihubungi HayuaraNet beberapa waktu lalu.
Kepala desa tersebut menjelaskan dalam satu tahun anggaran berbagai macam tawaran bimtek menghampiri para kepala desa.
“Kan, (bimtek) ini datang dari sana-sini, jadi tergantung keberanian kepala desa (menolaknya). Tapi, ujungnya tetap begitu, mengakomodir kepentingan sebutlah institusi,” jelasnya.
Tak hanya bimtek kepala desa, pemberdayaan masyarakat pun menjadi bancakan oknum tertentu. Tak jarang para oknum ini datang menjumpai kepala desa agar pelaksanaan pemberdayaan masyarakat yang telah diputuskan dalam musyawarah desa diserahkan kepada mereka.
“Ada ormawa begitu ngotot harus mereka yang menjalankan. Padahal kita ingin pihak lain yang lebih sesuai dengan agenda dan keinginan masyarakat. Yang lebih kompeten. Belakangan ormawa itu malah menghujat,” sebut kepala desa.
Untuk memuluskan akal bulus para oknum tersebut, umumnya mereka terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan camat. Lalu, para camat ini akan memanggil kepala desa dan menekankan agar program yang ditawarkan oleh pihak luar ini diakomodir para kepala desa.
Selain mendekati para camat, para pengeruk dana desa ini tak jarang menjual nama bupati untuk memuluskan niatnya. Terbaru di Madina sempat heboh pengadaan foto 3 tokoh Mandailing dengan harga bervariasi mulai dari 500 ribu per foto sampai 1,5 juta rupiah. Program pengadaan foto ini diinisiasi oleh salah satu tokoh pemuda.
Tim pemenangan Bupati Sukhairi dan Wakil Bupati Atika Azmi tak mau tinggal diam. Melihat dana desa menjadi bancakan bersama, oknum tim pemenangan ini pun latah menyiapkan program. Tak main-main, programnya adalah pengadaan rompi Covid-19. Padahal Presiden Joko Widodo telah memutuskan melonggarkan penerapan prokes. Salah satunya membolehkan melepas masker di ruang terbuka. Urgensi rompi ini pun menimbulkan tanda Tanya besar.
“Para oknum sebenarnya tidak paham dan mengerti kebutuhan masyarakat. Banyak program yang dititpkan hanya berdasarkan kepentingan semata bukan mengedepankan kebutuhan, kesejahteraan, atau kesehatan masyarakat,” tambah kepala desa lain.
Pun dengan oknum di tingkat OPD. Terbaru menyeruak berita adanya kutipan sebesar Rp 1,7 juta. Sebagaimana diberitakan nonstop.id, sejumlah camat di Kabupaten Madina mengakui melakukan pertemuan dengan PLT Kadis PMD Parlin Lubis dengan pembicaraan mengenai permintaan uang tersebut. Permintaan uang disebut untuk pengamanan atau penyelesaian kasus bimtek Dana Desa (DD) tahun 2021 yang bermasalah.
Situasi yang liar dan cenderung terang-terangan ini seperti tak mendapat perhatian dari bupati maupun aparat penegak hukum. Akibatnya, setiap yang melihat adanya celah mengambil keuntungan dari dana desa justru berupaya memaksimalkan kesempatan tersebut.
Para pendamping desa yang seyogianya menjadi fasilitator bagi kepala desa justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk mengeruk keuntungan dari pembuatan RAPBDes. Angka yang dipatok pun bervariasi, tapi tidak bisa disebut sedikit. Setidaknya dari pengakuan salah satu kepala desa, para pendamping ini meminta 5-7,5 juta rupiah untuk penyusunan RAPBDes dan RAB.
“Jadi pendamping ini mungkin diintervensi oleh kecamatan. Kalau murni mereka sendiri tidak sulit untuk diarahkan. Pendamping ini pun ada yang melunjak karena mereka yang menyusun itu tadi (RAPBDes dan RAB pembanguan fisik), jadi sesuka mereka memasukkan anggarannya” ujar kepala desa di wilayah Tambangan.
Ternyata, orang media yang semestinya menjadi kontrol sosial tak luput dari persekongkolan jahat ini. Dari keterangan kepala desa ada beberapa oknum wartawan yang datang meminta program pengadaan. Bahkan ada juga yang bertindak seolah-olah APH.
Bahkan rutinnya orang-orang yang mengaku wartawan ini datang menjumpai kepala desa membuat beberapa kepala desa menyiapkan anggaran tersendiri untuk oknum ini.
“Oknum wartawan ini biasanya datang saat dana desa cair. Mereka tahu kapan cairnya. Ada juga yang datang meminta pengadaan bibit. Masalahnya, kan, bibit ini kadang tidak sesuai dengan yang kita harapkan,” terang kepala desa yang lain.
Kondisi yang karut ini tidak hanya menimbulkan apatisme masyarakat, tapi juga menyebabkan pembangunan desa tidak maksimal. Bahkan sesuai data Kemendesa tahun 2021untuk wilayah Madina hanya ada 3 desa yang masuk kategori mandiri. Sisanya 17 desa masuk kategori maju, 111 desa berkembang, 203 desa tertinggal, dan 43 desa sangat tertinggal.
Padahal jika dirata-ratakan setiap desa menerima 800 juta per tahun, maka sejak pertama kali dikucurkan hingga tahun ini setidaknya ada 5,6 miliar yang telah masuk ke rekening desa. Jumlah yang cukup untuk memajukan sebuah desa.
“Sebenarnya dana desa ini sangat bisa membantu atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi situasi (banyaknya kepentingan) dan kondisi sekarang ini membuat masyarakat susah percaya. Semuanya jadi ingin serba instan,” keluh seorang kepala desa yang telah menjabat dua periode. (Red)*