AKAR HAYUARA – Tenaga honorer di Mandailing Natal, terlebih yang SK penugasannya ditandatangani oleh Bupati bak sedang menggenggam bara api di tangan mereka. Pasalnya, sejak awal Januari seluruh tenaga honorer telah dirumahkan.
Namun, pada nyatanya ada beberapa yang kembali menerima panggilan dari masing-masing OPD untuk kembali bekerja. Patut dicatat mereka yang dipanggil ini pun tidak punya SK. Akibatnya, setelah bekerja sejak Januari sampai hari ini, Rabu (20/4) semua honorer tersebut belum menerima gaji.
Ketidakjelasan yang diterima oleh tenaga honorer dumulai dengan dirumahkan, tidak ada pemanggilan kembali, dipanggil bekerja tanpa SK, dan 4 bulan tanpa gaji. Bahkan para tenaga honorer di sekolah-sekolah yang notabene bekerja untuk mencerdeskan generasi mendatang malah belum menerima gaji sejak Desember 20221.
Alasan klasik para kepala OPD terkait tidak keluarnya gaji tenaga honorer adalah SK yang belum diajukan. Patut dicatat, untuk setiap OPD baik pemnerintah maupun DPRD telah setuju menganggarkan APBD untuk tenaga honorer di masing-masing instansi. Meskipun besarannya tidak cukup untuk seluruh honorer.
Maka dari itu apa yang disampaikan oleh Wakil Bupati Atika Azmi Utammi Nasution harus dilaksankan: Efisiensi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar “Kalau pos gajinya ada, kenapa tidak dikeluarkan gaji dan SK-nya?”.
Tentu yang lebih memprihatinkan adalah para guru honorer. Sesuai pernyataan beberapa kepala sekolah yang menyebutkan Kepala Dinas Pendidikan Lis Mulyadi Nasution dalam rapat beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa penggajian guru honorer TKS dikembalikan ke masing-masing sekolah. Hal ini menambah persoalan lain.
Pertama, jumlah honorer di sekolah-sekolah membludak. Bahkan ada yang sampai 50 tenaga honorer di satu sekolah, termasuk honor sekolah (komite). Kedua, tidak adanya patokan gaji yang diatur oleh Dinas Pendidikan membuat para kepala sekolah kebingungan menetapkan gaji. Akibatnya ada yang menerima 100 ribu per bulan dan ada yang 500 ribu per tiga bulan.
Ketiga, Kadisdik dalam rapat tersebut bahkan memberikan kewenangan kepada kepala sekolah yang tidak sanggup menggaji untuk memberhentikan para TKS. Tentu ini akan menimbulkan masalah baru: Gelombang pengangguran. Dari ketentuan terakhir untuk bisa mengikuti ujian PPPK, para guru harus terdaftar di dapodik/punya sertifikat pendidik.
Para guru berada pada posisi dilematis. Diberhentikan berarti peluang ikut PPPK hanya dengan mengantongi sertifikat pendidik yang bisa diperoleh dengan mengikuti pendidikan. Tentu biayanya tidak murah.
Di tengah gonjang-ganjing ketidakpastian nasib para tenaga honor ini muncul isu bahwa ada penambahan atau rekrutmen honorer baru. Situasi ini menjadi sangat lucu, sebab di tengah adanya semangat efisiensi malah ada OPD yang melakukan rekrutmen.
Ketidakjujuran dalam kebijakan penanganan masalah tenaga honor bukan hanya memunculkan bencana baru berupa peningkatan pengangguran, tapi juga menujukkan tidakan semena-mena pemerintah.
Tindakan zalim itu akan menimbulkan perspektif buruk terhadap pemerintah dan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hati nurani. Bagaimana bisa pemerintah melakukan rekrutmen honorer pada saat yang sama memberhentikan honorer lain yang telah bekerja bertahun-tahun.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa honorer yang ingin jadi TKS diharuskan membayar sampai puluhan juta.
“Kalau itu (membayar) aku gak karena ada family di situ kerja. Tapi, ada kawanku bayar 20 juta,” kata salah satu honorer yang bekerja sejak tahun 2012 ini mengonfirmasi adannya jual beli SK.
Situasi ini benar-benar bak meletakkan arang di tangan honorer. Di satu sisi harus menggenggam arang itu meski akan membakar tangan mereka. Di sisi lain bisa saja melepas arang tersebut yang berarti melepas juga uang 20 juta yang telah disetorkan. Kondisi yang begitu ruwet ini diperparah dengan tidak adanya kepastian dari pemerintah.
Baik Wakil Bupati, Kaban Kepegawaian Daerah, maupun kepala OPD kompak tidak memberi tanggapan. Apa harus ada dulu gerombolan honorer mendatangi Bupati/Wakil Bupati seperti petugas kebersihan itu baru pemerintah menanggapi? (Red)*