Panyabungan (HayuaraNet) – Tiga Srikandi Partai Golkar, yakni anggota Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DPP Partai Golkar Fitri Krisnawati Tanjung, Wakil Bupati Mandailing Natal (Madina) Atika Azmi, dan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Madina Zubaidah Nasution menikmati sarapan dengan ‘menu’ isu perempuan dan politik.
Ketiganya duduk satu meja tanpa orang lain. Sesekali terlihat para perempuan yang menggeluti dunia politik ini tertawa lepas. Banyak isu yang menjadi perbincangan di Lia Garden, Dalan Lidang, Kecamatan Panyabungan, Madina, Sumut, pada Jumat (29/9) pagi.
Salah satu isu yang menjadi fokus perbincangan mereka adalah pentingnya keikutsertaan perempuan dalam partai politik. Banyak isu yang tidak bisa diselesaikan laki-laki ketika itu berhubungan dengan hak-hak perempuan.
Isu pendidikan menjadi topik lain yang diperbincangkan tiga kader Golkar ini. Mereka sepakat perempuan harus menerima pendidikan yang baik untuk mengangkat derajat keluarga, termasuk perbaikan ekonomi dan kelangsungan masa depan anak-anak.
“Perempuan harus berpendidikan tinggi bukan untuk bersaing dengan laki-laki, tapi untuk menjamin dia mengetahui hak-haknya sehingga tidak direndahkan,” kata Fitri yang diamini kedua perempuan di sebelahnya.
Sementara wabup Madina mengaku serius menggeluti politik, hal itu dibuktikan dengan bergabungnya dia dengan Partai Golkar. “Saya serius dan siap turun ke bawah mendampingi rekan-rekan yang berjuang untuk pileg nanti,” katanya.
Wabup Madina sepakat dengan pentingnya keberadaan perempuan dalam jabatan-jabatan publik, baik itu di eksekutif maupun legislatif. “Tanggung jawab perempuan sebenarnya lebih besar,” terangnya.
Senada dengan itu, anggota DPRD Madina Zubaidah Nasution menilai perempuan seharusnya mendapat ruang lebih di dunia politik. “Perempuan itu harus bisa menjadi ibu rumah tangga, pendidik sembari menjalani profesinya serta memperjuangkan hak-haknya,” jelasnya.
Isu perempuan belakangan menjadi isu menarik karena masih banyak hak perempuan yang tidak terakomodasi dengan baik dalam kebijakan publik. Meski tak terang-terangan, masih bisa dilihat tindakan yang menempatkan perempuan sebagai kasta yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. (RSL)